Ahad 21 Sep 2014 20:21 WIB

Sosiolog: Pilkada Melalui DPRD Sesuai dengan Pancasila

Aktivis dari Koalisi Kawal RUU Pilkada melakukan unjuk rasa menolak RUU Pilkada tidak langsung di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (16/9). (Republika/ Wihdan).
Foto: Republika/ Wihdan
Aktivis dari Koalisi Kawal RUU Pilkada melakukan unjuk rasa menolak RUU Pilkada tidak langsung di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (16/9). (Republika/ Wihdan).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosiolog Universitas Nasional (Unas) Nia Elvina menilai bahwa secara sosiologis sebenarnya pemilihan kepala daerah oleh DPRD merupakan interpretasi yang tepat terhadap pemaknaan sila keempat dari Pancasila.

"Saya berpendapat itulah demokrasi ala Indonesia yang ingin dikembangkan oleh bangsa ini," katanya di Jakarta, Ahad (21/9).

Ia melanjutkan sila keempat Pancasila berbunyi "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan". Memberikan ulasan mengenai polemik yang sedang terjadi sekarang mengenai pilkada, yakni yang bersifat langsung atau melalui perwakilan, ia melihat sebagai sesuatu yang wajar.

Menurutnya memang terjadi polemik mengenai hal itu ketika banyak sekali sistem yang diturunkan dari interpretasi yang kurang sesuai dengan ideologi bangsa ini.

"Ketika pemerintah atau para legislator kita ingin mengembalikan pada ranah yang ideal dan sesuai dengan ideologi kita, masyarakat menjadi ambigu dan tentunya juga bergesekan dengan kepentingan beberapa elite yang menikmati kekeliruan interpretasi tadi," katanya.

Jika dikaji secara mendalam, kata Nia secara sosiologis sebenarnya gagasan pilkada oleh DPRD itu merupakan interpetasi yang tepat terhadap pemaknaan sila keempat dari Pancasila, di mana permusyawaratan dalam bentuk perwakilan adalah titik tekannya.

"Rakyat jangan lupa gagasan ini merupakan suatu gagasan yang sangat mendasar yang ditelurkan oleh para pendiri bangsa ini, untuk membangun bangsa Indonesia ke depan," katanya.

Ia menegaskan bahwa para pendiri bangsa ini sangat menyadari akan bahaya atau ancaman dari tirani mayoritas ataupun minoritas, sehingga sistem yang terbaik adalah sistem perwakilan.

"Segala aturan tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara diputuskan dalam musyawarah dengan perwakilan," katanya.

Nilai dimaksud, katanya sebenarnya digali dari nilai-nilai yang hidup dalam desa-desa Indonesia, sehingga otonomi desa itu sering disebut dengan otonomi asli.

"Saya kira, gagasan ataupun kemauan dari para legislator dan pemerintah kita harus didorong oleh masyarakat luas, mereka 'kan ingin mengkonstruksi atau memperbaiki kembali aturan pilkada kita yang kurang tepat tadi," jelasnya.

Sebenarnya yang perlu mendapat sororat kritis masyarakat adalah bagaimana dalam UU tersebut, dewan desa itu diperbaiki kembali, misalnya dengan berkaca pada desa-desa di Bali, kemudian bagaimana mekanisme yang mengatur tentang anggota DPRD kabupaten itu merupakan representasi dari perwakilan dari dewan desa.

Kemudian mekanisme tentang anggota DPRD provinsi bisa merupakan representasi dari DPRD kabupaten, dan yang terakhir, bagaimana mekanisme DPR pusat itu merupakan representasi dari DPRD provinsi.

"Jadi perubahannya holistik, sehingga wakil-wakil atau legslator dan pemimpin kita itu merupakan orang-orang yang negarawan dan punya moralitas yang tinggi," ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa perubahan itu nantinya akan lebih menumbuhkan keinsyafan berpolitik dalam masyarakat.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement