Jumat 19 Sep 2014 17:35 WIB

Harus Ada Perlindungan Serius Terhadap Rakyat Miskin

Prof.Dr.Ir. Noer Azam Achsani
Prof.Dr.Ir. Noer Azam Achsani

REPUBLIKA.CO.ID,BOGOR--Esok merupakan salah satu hari yang bersejarah bagi Prof.Dr.Ir. Noer Azam Achsani karena tepat pada tanggal 20 September 2014, Ia dikukuhkan sebagai salah satu Guru Besar bidang Ilmu Ekonomi oleh Institut Pertanian Bogor (IPB).

Dalam upacara pengukuhan tersebut, Prof. Noer akan menyampaikan Orasi Ilmiah berjudul “Tantangan Baru Ekonomi Politik Indonesia Menghadapi Problema Lokal dan Dinamika Global” di Auditorium Andi Hakim Nasoetion Kampus IPB Dramaga.

Sebelumnya, Prof. Noer sempat menjabarkan materi orasinya di hadapan sejumlah media dalam Press Conference yang digelar hari ini di Ruang Sidang Akademik dan Pendidikan, Kampus IPB Dramaga (19/9). Prof. Noer mengungkapkan posisi Indonesia dalam konstelasi ekonomi politik dunia ke depan.

“Dibalik keberhasilan Indonesia mencapai posisi ke 10 dunia (Bank Dunia, 2014), perekonomian Indonesia masih menghadapi permasalahan yang sangat berat diantaranya kemiskinan dan pengangguran, kesenjangan, masalah utang dan ketergantungan terhadap luar negeri,” ujarnya.

Kemiskinan, selama 1999-2013 terjadi kesenjangan kemiskinan yang cukup signifikan antara desa-kota (desa lebih miskin dari kota). Jumlah penduduk miskin di Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa. Konsentrasi penduduk miskin di Pulau Jawa mencapai 56 persen dari total penduduk miskin di Indonesia. Sumatera menjadi daerah kedua yakni mencapai 23 persen dari total penduduk miskin di Indonesia. Hampir 78 persen penduduk miskin berada di kedua pulau ini, terutama di kawasan pedesaan.

Kesenjangan, perekonomian Indonesia pascakrisis 1997 diwarnai oleh tingginya ketimpangan kesejahteraan. Kesenjangan ekonomi antarwilayah dan antarsektor.

“Delapan provinsi dengan ketimpangan di atas rata-rata nasional pada 2013 adalah Sumatera Utara, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Papua Barat, Yogyakarta, Gorontalo, dan Papua. Yang paling timpang adalah Papua dengan rasio 0,44. Jawa yang hanya mencakup 6,8 persen wilayah Indonesia dihuni 58 persen penduduk dan menyumbang 58,7 persen ke dalam PDB Indonesia pada 2010. Sebaliknya Maluku dan Papua yang mencakup luasan sebesar 26 persen wilayah Indonesia hanya dihuni 2,4 persen penduduk dan menyumbang sekitar 2,6 persen PDB Indonesia pada 2010,” terangnya.

Kesenjangan ekonomi antarsektor juga luar biasa. Sektor pertanian hanya memiliki konstribusi sebesar 14,3 persen dari total PDB tetapi menyerap 35 persen tenaga kerja (petani di desa). Sedangkan sektor Industri, menyumbang 26,1 pesren PDB hanya mampu menyerap 13 persen tenaga kerja.

“Pertanian merupakan sektor yang memiliki tingkat kemakmuran terendah. Bandingkan dengan sektor pertambangan yang rata-rata menikmati kemakmuran 20 kali lipat lebih tinggi dari pekerja di sektor pertanian,'' katanya.

Data ini menunjukkan bahwa transformasi ekonomi tidak diikuti transformasi ketenagakerjaan. Faktanya, sektor pertanian menanggung beban yang sangat berat. Selain itu, sektor pertanian menjadi wadah terbesar bagi sumberdaya manusia berpendidikan rendah. ''Ini berbanding terbalik dengan Industri keuangan, jasa dan energi yang dipenuhi sumberdaya manusia dengan daya inovasi tinggi,” ujarnya.

Masalah utang, perekonomian nasional pascakrisis 1997 dibebani masalah utang yang sangat besar, baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri. Pada Januari 2014, posisi utang pemerintah sebesar USD 127.9 Milyar dan utang dalam negeri sebesar Rp. 734.4 Trilliun. Jika ditambah dengan utang luar negeri swasta (USD 141.1 Milyar), maka utang Indonesia mencapai Rp. 3.800 Triliun pada kurs Rp. 11.500 per USD.

Ini sangat berbahaya, karena akan menyeret negara dalam self fulfilling inflationary crisis, akibat dari utang publik domestik jangka pendek. Disamping itu, berpotensi memicu kepanikan seperti yang terjadi di Mexico dan Korea Selatan, jika terjadi krisis keuangan ketika kurs ambruk secara tiba-tiba seperti tahun 1997-1998.

Ditambah lagi, bahaya currency mismatch yang berefek ke neraca pembayaran. Sementara dari sisi ketergantungan terhadap luar negeri, perekonomian kita rentan terhadap gangguan eksternal termasuk juga arus modal dalam jumlah besar maupun jumlah ekspor dan impor.

Tantangan yang lebih besar hadir dengan nama ASEAN Economic Community (AEC) 2015. Gambarannya adalah adanya satu kawasan ekonomi  tanpa frontier (batas antar negara), dimana setiap penduduk maupun sumberdaya dari setiap negara anggota bisa bergerak bebas.

''Yang saya khawatirkan adalah orang pintar dan bermodal besar dari negara lain masuk ke Indonesia tapi orang-orang pintar kita banyak yang ke luar karena mendapatkan gaji lebih besar. Yang terjadi adalah negara-negara seperti Jepang, Cina, Singapura, Korea, Malaysia, Vietnam dan Thailad akan semakin maju. Sementara Indonesia, Myanmar dan Philipina akan semakin tertinggal. Brunei kita kecualikan,” terangnya.

Tentu yang paling menderita adalah masyarakat miskin. Harus ada upaya untuk menghadapi permasalahan domestik dan tantangan global di masa depan. Indonesia perlu menyusun konstruksi ekonomi politik baru. Diantaranya peningkatan akses masyarakat miskin terhadap sumber-sumber pertumbuhan ekonomi, khususnya kepemilikan tanah dan layanan keuangan perbankan.

Kemudian juga peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan dan kesehatan yang berkualitas serta peningkatan pemberdayaan masyarakat dalam meningkatkan pendapatan kelompok miskin.

“Agar AEC berfungsi secara efektif, diperlukan bantuan investasi dan dukungan teknis dari negara-negara anggota yang lebih maju ke negara-negara yang relatif tertinggal. Untuk itu ekonomi politik keberpihakan menjadi suatu keharusa. Ini tidak gratis, Indonesia tidak mungkin mengharapkan kebaikan hati negara lain tetapi harus berjuang melalui perundingan-perundingan baik bilateral maupun multilateral,” pungkasnya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement