REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Peneliti Otonomi Daerah dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Tomy Susu menyatakan alasan biaya politik untuk mengembalikan pilkada ke DPRD sesungguhnya menunjukkan kegagalan Kemendagri. Menurut dia, Kemendagri gagal sebagai pembinaan politik dan pilar utama penataan sistem pemerintahan daerah.
"Tanyakan kepada Ryas Rasyid, substansi filosofi UU 22/1999, yang kemudian direkonstruksi ke dalam UU 32/2004," kata Tomy Susu di Kupang, Kamis (18/9). Menurut dia, soal biaya pilkada langsung yang dinilai terlalu besar, seharusnya bukan merupakan variabel yang dimasukkan sebagai pertimbangan dalam agenda revisi UU 32/2004.
Karena merupakan kesalahan Kemendagri sebagai pilar utama penataan sistem pemerintahan daerah. "Artinya, bagi saya, jika pilkada inheren dengan otonomi daerah, maka pilkada langsung tidak ada pilihan atau tetap pilkada langsung," kata Tomy Susu.
Dia mengakui, ongkos politik jika Pilkada kembali ke DPRD memang lebih kecil, ketimbang pilkada oleh rakyat. Akan tetapi mahalnya biaya merupakan resiko dari sebuah proses menuju kemandirian demokrasi.
Menurut dia, kembali ke sistem demokrasi perwakilan merupakan langkah mundur dalam perjuangan bangsa ini menuju suatu tatanan hidup berdemokrasi.Karena itu, sistem yang sudah terbangun dalam beberapa tahun terakhir ini tetap dilanjutkan. Dengan tetap melakukan perbaikan-perbaikan terhadap kekurangan atau kelemahan selama proses ini berjalan.