Selasa 16 Sep 2014 18:25 WIB

Pemprov Jatim Kucurkan Rp 3 Miliar Atasi Kekeringan

Kekeringan
Foto: Antara
Kekeringan

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pemprov Jawa Timur (Jatim) mengucurkan dana Rp 3 miliar demi mengatasi darurat kekeringan di 22 kabupaten di Jatim.

Setelah sebelumnya pendanaan penanganan kekeringan diserahkan pada masing-masing pemerintah kabupaten, mulai pertengahan September ini, dana didistribusikan melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) masing-masing kabupaten.

Kepala BPBD Jatim Sudarmawan menjelaskan, dalam pemetaan BPBD Jatim, desa yang terkategori berpotensi mengalami kering kritis berjumlah 624 desa. Menurut dia, status kering kritis artinya jarak sumber air dari tempat tinggal berjarak lebih dari 3 Kilometer.

"Ke-624 desa kering kritis tersebut tersebar di tiga titik, yakni wilayah Pulau Madura, wilayah Tapal Kuda (bagian timur Jatim), serta Mataraman (bagian selatan Jatim)," ujar Sudarmawan kepada para wartawan di kantor BPBD Jatim, Sidoarjo, Selasa (16/9).

Menurut Sudarmawan, berdasarkan SK Gubernur Jatim Nomor188/511/KBTS/013/2014, status darurat kekeringan di Jatim ditetetapkan selama 75 hari, mulai 15 Agustus hingga 31 Oktober.  

Menurut dia, dana sejumlah Rp 3 miliar yang didistribusikan akan difokuskan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih untuk warga. "Bentuknya mulai dari bantuan melalui tanki, pembangunan tandon (penampungan), serta perluasan saluran pipa," ujar dia.

Sudarmawan menjelaskan, demi menghadapi dampak lain kekeringan, seperti dampak ekonomi dan kesehatan, pihak BPBD telah berkoordinasi dengan lembaga pemerintahan terkait. Dia mencontohkan, soal risiko di sektor pertanian, pihaknya telah berkoordinasi dengan Dinas Pertanian.

"Kita sudah mengonsolidasikan Dinas Pertanian sejak Juli untuk menyosialisasikan kepada masyarakat mengenai masa efektif tanam, termasuk soal pengairan," ujar Sudarmawan.

Menurut Sudarmawan, dampak kekeringan pada tahun ini relatif menurun dibandingkan tahun 2013. Dia menggambarkan, pada 2013, jumlah desa berpotensi kering kritis mencapai 870 desa, sementara sekarang jumlahnya berkurang menjadi 624.

"Itu disebabkan setidaknya dua faktor, pertama, peningkatan upaya mitigasi, seperti pembangunan embung dan perpipaan. Kedua, karena dampak (badai) /elnino/ tidak terlalu besar," kata dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement