Selasa 16 Sep 2014 17:30 WIB

Kenaikan Cukai Dinilai Matikan Pertanian Tembakau dan Cengkeh

Pekerja mencampur tembakau rajangan dengan gula pasir sebelum dijemur. (ilustrasi)
Foto: ANTARA
Pekerja mencampur tembakau rajangan dengan gula pasir sebelum dijemur. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pemerintah menaikkan cukai rokok sebesar 10 persen pada 2015 berpotensi mematikan pertanian tembakau dan cengkeh.

Menurut peneliti FISIP Universitas Indonesia, Syamsul Hadi, zaman dulu di Kudus, Jawa Tengah, banyak sekali industri rokok kretek. Setiap rumah bebas membuat bisnis rokok kretek, namun sekarang sudah tidak ada lagi. "Tindakan pemerintah meningkatkan cukai perlahan akan mematikan pertanian tembakau dan cengkeh," katanya di Jakarta, Ahad (14/9).

Syamsul menegaskan, pemerintah sebaiknya meninjau kembali aspek kelangsungan hidup petani tembakau dan cengkeh sebelum akhirnya meningkatkan cukai tembakau. Saat ini banyak sekali petani tembakau yang kehilangan sumber penghasilannya dan terpaksa beralih ke pertanian lain yang bukan keahlian mereka.

Menurut Syamsul, memang sejak 2008, dana Cukai Hasil Tembakau telah diatur untuk dialokasikan ke daerah dalam bentuk Dana Bagi Hasil (DBH-CHT). Alokasi ini bertujuan untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

Ia mengusulkan, sebaiknya dana tersebut dibagi dalam porsi tertentu kepada para petani tembakau dan cengkeh, apakah dalam bentuk penyuluhan entrepreneurship ataupun pembelian bibit tembakau dimana hasilnya bisa diekspor.

Hal ini, kata dia, sudah dilakukan PTPN X dengan mengekspor rokok kretek ke Cina). “Jika memang konsumsi tembakau ingin dibatasi di Indonesia," jelasnya.

Syamsul mengkritisi pasal 113 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal itu menyebutkan tembakau merupakan zat adiktif yang mengganggu dan membahayakan kesehatan manusia.

"Bagaimana dengan produk mie instant yang diketahui memiliki zat adiktif berupa timbal justru tidak diatur penggunaannya dalam undang-undang tersebut," imbuh Syamsul.

Menurut Syamsul, pemerintah tidak pernah mengklasifikasi produk yang mengandung zat adiktif.  "Dalam hal ini, pemerintah belum teliti dalam mengklasifikasikan zat adiktif," tukasnya.

Ketua Asosiasi Petani Tembakau (APTI) Nurtianto Wisnu Brata dihubungi terpisah menambah, rencana pemerintah menaikan cukai tembakau hingga 10 persen pada tahun depan berdampak pada kenaikan harga produk. Sehingga berdampak bagi petani tembakau karena turunnya pangsa pasar tembakau.

 

Dilema yang sama juga dihadapi industri. Turunnya produksi akibat kenaikkan harga tentu berdampak serius bagi perusahaan. Ia berpendapat, tak menutup kemungkinan akan terjadi pemutusan hubungan kerja di industri tembakau.

Menurut Wisnu, sikap pemerintah itu ambivalen pada tembakau. Di satu sisi mengaku berpihak kepada tembakau, tetapi di sisi lain menggencet tembakau dengan berbagai regulasi.

 

Misal, Peraturan Pemerintah No 109 Tahun 2014 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Produk Tembakau Bagi Kesehatan dengan kemudian mewajibakan ada gambar seram, justru telah mengakibatkan pabrik rokok kretek kecil di daerah gulung tikar. "Ini langkah membunuh secara pelan kelangsungan industri tembakau dari hulu hingga hilir," ucap dia.

 

Ia mengaku heran kretek yang notabene aset bangsa, dari bahan baku hingga tenaga kerja dan mayoritas menggunakan komponen lokal, justru hendak dimatikan. Padahal di negara Kuba dengan produk tembakau berupa cerutu benar-benar dilindungi pemerintah

Wisnu mengusulkan, kalau pemerintah menaikkan cukai harus berani membedakan pabrik yang mayoritas pakai tembakau impor dan mana yang mayoritas pakai produk lokal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement