Senin 15 Sep 2014 19:38 WIB

Transformasi Sosial Jakarta, Ketidakberuntungan Penduduk Miskin

Rep: C87/ Red: Djibril Muhammad
Pekerja mulai ngerjakan proyek pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) di halaman Terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Senin (15/9). (Republika/Rakhmawaty La'lang).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Pekerja mulai ngerjakan proyek pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) di halaman Terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Senin (15/9). (Republika/Rakhmawaty La'lang).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Profesor Riset Bidang Sosiologi, Dr Henny Warsilah, mengatakan transformasi sosial di ruang Kota Jakarta dari periode Orde Baru hingga era reformasi menghasilkan kondisi ketidakberuntungan bagi penduduk miskin.

Hal itu disampaikan dalam orasi ilmiah berjudul 'Transformasi Sosial Masyarakat Kota Jakarta dari Periode Orde Lama hingga Era Reformasi.' Orasi disampaikan dalam pengukuhannya sebagai Profesor Riset Bidang Sosiologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Auditorium Utama LIPI, Senin (15/9).

Menurut Henny, transformasi sosial di ruang kota adalah perubahan masyarakat kota secara sosial, budaya, ekonomi, dan politik ke arah yang lebih baik. Jika proses transformasi sosial tidak diarahkan dengan baik sesuai dengan konsep keseimbangan penataan ruang kota, antara ruang fisik dan ruang sosial, maka akan menghasilkan wajah kota yang tidak beradap.

"Transformasi fisik Kota Batavia dari sisi sejarah sosial berlangsung dengan cepat, dari sebuah tempat dagang menjelma menjadi kota Batavia. Dari sisi penduduk mengalami perkembangan pesat pula. Pascakemerdekaan RI, kota Batavia bertransformasi menjadi Kota Jakarta secara fisik, politik dan sosial budaya," kata Henny.

Secara politik, lanjutnya, Kota Jakarta tidak lagi dikuasai oleh penjajah Belanda. Setelah merdeka, DKI Jakarta dipimpin oleh seorang gubernur. Secara sosial, penduduk bukan lagi didominasi oleh warga asing seperti Cina, tetapi oleh seluruh penduduk dari kepulauan nusantara.

Hubungan-hubungan sosial berkembang pesat namun tidak di bawah dominasi penjajah. Masyarakat sudah mengekspresikan diri secara luas. Secara budaya, kata Henny, Jakarta sangat heterogen. Masing-masing budaya etnik dapat tampil sejajar dengan budaya dari luar (bazaar budaya).

"Masyarakat Jakarta menjadi terbuka dan universal, akomodatif terhadap perbedaan suku, agama, ras, dan ideologi serta menjadi masyarakat inklusif," jelasnya.

Meski demikian, Henny melihat transformasi sosial di ruang Kota Jakarta pada satu sisi memberikan nilai tambah berupa kehidupan yang lebih nyaman kepada sebagian penduduk kota. Tetapi pada sisi lain menghasilkan suatu kondisi ketidakberuntungan bagi penduduk miskin.

Jika tidak direncanakan secara matang, imbuhnya, akan melahirkan budaya kekeraan atau culture of violence, dan tumbuh suburnya budaya premanisme di kalangan penduduk kota.

"Belajar dari kondisi di atas, dibutuhkan suatu transformasi dalam penataan ruang kota yang pro publik dan sifatnya terintegratif. Setelah proses transformasi berlangsung, dibutuhkan suatu rekonstruksi sosial untuk meningkatkan kondisi ruang kota ke arah lebih baik," tandasnya. 

Selain Henny Warsilah, LIPI juga mengukuhkan Profesor Riset Bidang Mikrobiologi yakni Dr Tatik Khusniati.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement