REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Gugatan sejumlah alumnus dan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) terhadap Pasal 2 Ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan, terus menuai pro dan kontra dari masyarakat. Tak terkecuali dari kalangan agamawan, yang sebagian menolak legalisasi nikah beda agama dan sebagian lagi bersikap lebih lunak terhadap persoalan ini.
Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Pdt AA Yewangoe menuturkan, pernikahan beda agama tidak mudah dilakukan di negara ini. Persoalannya terletak pada legalitas hukum agama yang mengesahkan perkawinan. “Kalau hukum agama mengharamkan nikah campur (antaragama, suku, atau kebangsaan), maka akan sulit melangsungkan perkawinan beda agama,” ujar Yewangoe, Senin (15/9).
Menurut Bibel, kata dia, umat Israel pada zaman Ezra dan Nehemia dulu diharamkan menikahi orang yang bukan berasal dari sesama bangsa atau sukunya. Sejarah inilah yang sering dijadikan acuan oleh gereja untuk sedapat mungkin menghindari pemberkatan nikah beda agama dilaksanakan di gereja.
Meskipun begitu, kata Yewangoe, tidak semua gereja menerapkan aturan tersebut. Ada juga gereja yang melakukan pemberkatan nikah beda agama, bukan saja antara pasangan Kristen Protestan dan Katolik, melainkan juga antara Kristen dan non-Kristen.
“Pertanyaannya, kata Yewangoe, apakah pernikahan itu masuk dalam akta agama atau akta sosial? Ini penting juga untuk dijawab,” ujarnya.
Ia menjelaskan, memang ada agama yang menganggap pernikahan termasuk akta agama. Artinya, sebuah pernikahan dikatakan sah jika memenuhi hukum agama dan/atau disahkan oleh pemuka agama.