Ahad 14 Sep 2014 04:30 WIB

Jangan Merampas Hak Rakyat

Arif Supriyono
Foto: Dokpri
Arif Supriyono

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Supriyono

Sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat sedang mengemas ide untuk untuk mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah. Jika selama sepuluh tahun ini kepala daerah (bupati, wali kota, dan gubernur) dipilih langsung oleh rakyat, beberapa fraksi di DPR menggulirkan wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD.

Mereka mengajukan usulan berupa Rancangan Undang Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah yang diharapkan mengganti sebagian isi UU Nomor 34/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan itu terutama ditujukan pada bagian kedelapan UU tersebut (tentang pemilihan kepala daerah), termasuk pasal 56 yang berbunyi: kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Ada beberapa alasan yang disampaikan oleh mereka yang menghendaki perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah itu. Dalih tersebut antara lain: besarnya dana yang dibutuhkan dalam pemilukada (pemborosan uang negara), merusak moral masyarakat karena praktik politik uang, dan banyaknya kepala daerah yang tersangkut korupsi dari hasil pemilukada tersebut. 

Sekilas, alasan yang disampaikan itu terlihat logis. Anggaran yang dibutuhkan untuk menggelar pemilukada kabupaten/kota rata-rata sekitar Rp 10-25 miliar. Sedangkan untuk pemilukada gubernur bisa menghabiskan dana antara Rp 100-500 miliar (ada yang hampir Rp1 triliun). Dengan jumlah kabupaten/kota di Indonesia sebanyak 508 dan provinsi mencapai 34, maka dalam lima tahun dibutuhkan anggaran tak kurang dari Rp 15 triliun untuk penyelenggaraan pemilukada.

Dari sisi efisiensi, pemilihan kepala daerah oleh anggota DPRD memang akan lebih hemat. Para saksi di tempat pemungutan suara, tingkat desa, dan kecamatan tak lagi dibutuhkan. Keberadaan

pula petugas penyelenggara pemilu pun tak diperlukan. Artinya, pemerintah tak perlu mengeluarkan honor untuk mereka. Lebih dari separuh anggaran bisa dihemat jika DPRD yang memilih kepala daerah.

Anggaran penyelenggaraan pemilukada merupakan biaya yang ditanggung oleh pemerintah dan diambilkan dari APBN (Anggarana Pendapatan dan Belanja Negara). Karena sudah ditanggung pemerintah, berapa pun besarnya tak perlu menjadi masalah asalkan tak ada unsur korupsi. Ada cara lain untuk melakukan penghematan, misalnya dengan pelaksanaan pemilu secara serentak untuk memilih anggota legislatif dan kepala daerah.

 

Kalau ini masih dipersoalkan dan dianggap tidak efisien atau pemborosan, mengapa anggota DPR tidak mengusulkan agar kepala daerah ditunjuk saja? Sekalian diusulkan agar penggantian kepala daerah dilakukan turun-temurun. Ini pasti jauh lebih menghemat biaya.

Perihal rusaknya moral masyarakat akibat praktik politik uang yang mengiringi pelaksanaan pemilukada, ini sebenarnya yang menjadi tantangan kita semua. Tugas aparat dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk mencegah terjadinya praktik politik uang dan memberi sanksi (hukuman) terhadap pelaku yang terbukti menyebar duit untuk memengaruhi pemilih. Selama ini, kita sering bersuara nyaring soal politik uang tetapi tak mampu menangkal apalagi memberikan sanksi terhadap pelaku atau anggota tim dari calon/kandidat yang melakukan pelanggaran politik uang.

Andai pemilihan kepala daerah kembali dilakukan oleh DPRD, saya yakin biaya yang dikeluarkan calon juga tak kalah besar dengan praktik politik uang saat ini. Hampir mustahil para anggota DPRD itu tak mengharapkan ‘asupan gizi’ dari sang calon kepala daerah. Nilainya pun, saya taksir, bisa puluhan hingga ratusan juta rupiah per kepala.

Di era sekarang ini, pemilihan ketua umum partai saja selalu disertai dengan praktik politik uang. Justru kultur buruk di partai tersebut yang berlanjut hingga ke jenjang pemilihan kepala daerah. Sisi buruk inilah yang mestinya menjadi pekerjaan rumah kita semua untuk dibasmi. 

Banyaknya kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi juga tak bisa dijadikan kriteria untuk mencabut pelaksanaan pemilukada langsung. Faktanya memang tak kurang dari 320 kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi sejak pemilukada langsung digelar. Jika ini dijadikan alasan untuk mengubah pemilukada langsung menjadi dipilih oleh DPRD tentu tidak tepat.

Bukankah  dalam periode yang sama ada sekitar 3.000 anggota DPRD yang terjerat korupsi? Belum lagi puluhan anggota DPR yang terkena kasus korupsi. Bila demikian alasannya, mengapa pemilihan anggota dewan/legislatif secara langsung oleh rakyat tak dipersoalkan juga? Saya kira, bukan pemilihan langsungnya yang salah tetapi proses seleksi calonnya yang tidak tepat.

Apabila proses seleksi terhadap para calon kepala daerah berjalan baik, maka calon yang muncul tentu orang-orang yang lebih baik dan memiliki komitmen untuk membangun daerah dan masyarakat. Kenyataan saat ini sungguh ironis. Tokoh yang bermasalah, baik itu karena tindak asusila dan indikasi korupsi, tetap saja bisa melaju sebagai calon kepala daerah. Bahkan ada tokoh yang pernah menjadi berita heboh sebagai pelaku video porno pun masih bisa terpilih sebagai kepala daerah. Ini sungguh sangat memprihatinkan.

Usulan pemilihan kepala daerah oleh DPRD juga bertentangan dengan UUD 1945. Sesuai dengan bunyi pasal 6A UUD 1945 hasil amandemen, presiden dipilih langsung oleh rakyat. Semangat pemilihan presiden secara langsung ini merupakan satu garis linier dengan pemilihan kepala daerah karena sejalan dengan sistem presidensiil yang kita anut. Ini lantaran komposisi struktur yang terlibat dalam proses pemilihan presiden juga ada di daerah, yakni KPUD, Bawaslu, dan lain-lain.

 

Perubahan mekanisme pemilihan presiden oleh DPR/MPR berangkat dari kesadaran para elite politik, bahwa esensi pemilihan pemimpin adalah menjadi hak masyarakat. Karena itu masyarakat yang akan dipimpinlah yang harus memutuskan, siapa yang layak dan pantas menjadi pemimpin mereka.

Kalau dahulu kala pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD, itu harus dilihat sebagai proses perjalanan demokrasi kita menuju ke arah yang lebih baik. Jika sekarang sudah berjalan di koridor yang benar, kemudian muncul pelbagai ekses negatif, maka bukan jalan benar itu yang kita tutup lalu dibelokkan ke arah yang salah. Mestinya segala bentuk penyimpangan itu yang harus kita hilangkan. Sering kali kita malas untuk bekerja dan membersihkan segala bentuk penyimpangan yang demikian ini.

Para pengusung RUU Pemilihan Kepala Daerah itu tentu menyadari, bahwa prinsip demokrasi itu ‘dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat’. Semua kebijakan dan langkah yang dilakukan DPR/MPR itu sesungguhnya wewenang rakyat yang didelegasikan kepada mereka.

Ibaratnya, jika rakyat meminta semua kewenangan yang ada di DPR/MPR, legislatif harus merelakannya. Sebaliknya, apa yang sudah menjadi ‘milik’ rakyat tak pantas jika diminta oleh DPR. Tak seharusnya DPR/MPR merampas hak rakyat, kecuali jika mayoritas rakyat menyatakan persetujuan --melalui referendum misalnya-- atas kehendak DPR/MPR itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement