Jumat 12 Sep 2014 19:49 WIB

Bekasi Belum Bisa Jadi Smart City

Rep: c57/ c74/ Red: Karta Raharja Ucu
Gerbang Tol Bekasi Barat III
Foto: Antara
Gerbang Tol Bekasi Barat III

REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI SELATAN -- Kota-kota satelit DKI Jakarta bersiap mengekor konsep smart city milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI. Bekasi satu di antaranya. Namun, Pemerintah Kota Bekasi mengakui penerapan konsep kota pintar itu masih mengalami banyak hambatan.

Kepala Dinas Tata Kota Pemkot Bekasi Koswara, menyatakan salah satu hambatan Bekasi menerapkan smart city adalah sistem yang masih parsial alias terpisah-pisah. "Misalnya, sistem e-KTP, Kartu Sehat, dan layanan pendidikan masih berjalan sendiri-sendiri," ucap Koswara saat ditemui Republika, Kamis (11/9) siang.

Sejumlah warga masih tinggal di tenda pengungsian Kementrian Sosial di kawasan Mega Supermal Bekasi, Minggu (20/1).

Koswara berharap, konsep smart city terpisah-pisah itu dapat diintegrasikan dengan sistem data centre atau monitor centre untuk seluruh wilayah Kota Bekasi. Jadi, seluruhnya dapat diawasi dengan baik.

"Jika sistem pelayanan smart city yang terpisah-pisah itu dapat diintegrasikan, dapat terlihat di mana wilayah yang bermasalah, pelayanan publiknya kurang, dan pemkot dapat mengontrol permasalahan air, sampah, dan lainnya," kata Koswara menjelaskan.

Ia mengklaim, warga Bekasi sudah siap menerapkan konsep smart city. Apalagi, menurut Koswara, warga Bekasi sudah terbiasa dengan teknologi canggih, seperti smart phone dan internet.

Jika teknologi informasi dijadikan model pelayanan pemerintah terhadap masyarakat, menurut Koswara, semuanya tentunya akan lebih mudah. Sebab, masyarakat dapat mengontrol layanan publik dengan mudah.

Misalnya, mengurus berbagai macam perizinan dan memeriksa rapor di sekolah dengan smartphone atau internet, Koswara mencontohkan. Ia juga menyebutkan dampak buruk dari sistem layanan publik yang tidak terintegrasi atau terpadu. Misalnya, untuk layanan komunikasi, terdapat banyak sekali penyedia jasa yang bergerak sendiri-sendiri, tidak terkoordinasi.

"Mereka main gali jalan saja, mau pasang kabel fiber optik, langsung gali jalan, pasang lagi, gali jalan lagi. Bahkan, bikin kabel fiber optik di atas jalan pakai tiang-tiang," ucap dia menjelaskan.

Secara estetika, ia berpendapat, hal itu merusak keindahan kota. Jika semuanya dapat diintegrasikan dalam satu kanal infrastruktur, kota akan rapi.

Sebelum Bekasi, Pemerintah Kota Depok juga melirik konsep smart city besutan Pemprov DKI. Tapi, menurut pengamat perkotaan dari Universitas Indonesia Raden Yudhono, Depok belum siap menjadi smart city. Menurut Yudhono, smart city membutuhkan sumber daya manusia yang sudah terampil dalam teknologi.

Dibutuhkan waktu jangka panjang untuk mempersiapkan sebuah kota menjadi smart city. "Yang bisa diambil contohnya adalah Korea Selatan. Sudah 10 tahun kota-kota di sana menjalankan smart city dan sampai sekarang masih berkembang," ujar Yudhono.

Smart city merupakan konsep kota yang terkoneksi dengan jaringan teknologi dan internet. Menurutnya, hanya sedikit kota yang dapat menjalankan smart city di Indonesia saat ini. Salah satunya, Surabaya dan Bandung.

Yudhono menyebut, untuk dapat menjalankan smart city, Kota Depok membutuhkan pemerintahan yang lebih baik dari yang sekarang. Dibutuhkan reformasi birokrasi untuk mendukung smart city. "Karena, inti dari smart city adalah pelayanan satu atap, maka birokrasi pun harus akrab dengan internet," tambahnya.

Pelayanan di Depok, menurut Yudhono, juga belum siap menggunakan internet sebagai basis pelayanan. Menurutnya, hanya sebagian masyarakat yang bisa mengakses smart city.

"Dibutuhkan masyarakat yang sudah intelek dan sumber daya yang memadai, saya kira, Kota Depok belum siap untuk itu," kata Yudhono mengakhiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement