Jumat 12 Sep 2014 18:30 WIB

Pemerintah Ingin Pilkada Langsung Tapi Murah

Rep: Ira Sasmita/ Red: Djibril Muhammad
Diskusi tentang RUU Pilkada di Jakarta.
Foto: Republika/Tahta Aidilla/ca
Diskusi tentang RUU Pilkada di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang mengusulkan Rancangan Undang-Undang Pilkada pada 2011 lalu pada awalnya memang menginginkan pilkada dikembalikan ke DPRD. Namun mengikuti dinamika dan keinginan masyarakat, pemerintah berbalik arah mempertahankan pilkada langsung.

Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan, perubahan sikap tersebut pada awalnya sebagai upaya mengikuti sikap fraksi di DPR dan masyarakat.

Pada 2 September 2014, pemerintah menyatakan setuju pilkada langsung. Dengan catatan, harus dilakukan penguatan aturan untuk menciptakan pilkada berbiaya murah.

"Dulu Mei 2014 semua fraksi setuju pilkada langsung, sekarang semuanya berubah. Tinggal tiga saja yang mau langsung, tapi kami akan terus lakukan upaya agar RUU Pilkada yang disahkan mekanismenya pemilihan langsung," kata Djohermansyah di kantor Kemendagri, Jakarta, Jumat (12/9).

Persoalan biaya pilkada, menurut Djohermansyah memang menjadi masalah utama. Yang melahirkan masalah-masalah lain sebagai efek negatif sistem rekrutmen terbuka pada pilkada langsung.

Dari segi penyelenggraan, APBD yang digunakan untuk pilkada cukup besar. Meski prosentasenya kecil jika dibandingkan postur anggaran secara keseluruhan.

Anggaran digunakan untuk pembayaran honor penyelenggara pemilu, logistik, dan pemungutan suara. "Data kasar, untuk pilkada seluruh Indonesia dihabiskan sekitar Rp 70 triliun," jelasnya.

Namun, pemerintah telah menawarkan solusi untuk mengatasi persoalan ini. Pelaksanaan pemilihan gubernur dengan pemilihan bupati/ wali kota secara serentak dipastikan akan menekan pembiayaan. Pemerintah memperkirakan pilkada serentak bisa hemat hingga 50 persen jika dilakukan terpisah.

Pembiayaan paling besar dalam pilkada langsung, Djohermansyah melanjutkan, adalah biaya kandidasi. Dimulai dari biaya 'sewa perahu' untuk mengumpulkan dukungan partai pengusung. Kemudian biaya iklan kampanye, kampanye terbuka atau rapat umum, dan operasional hingga pemungutan suara.

Mahalnya biaya yang dikeluarkan politisi, akhirnya melahirkan kecenderungan terjadi penyimpangan. Setelah pilkada selesai, kandidat terpilih akan berupaya mengembalikan modal. Dan mematuhi keinginan para penyokong dana selama kampanye.

"Mereka melakukan penyelewengan kekuasaan, melakukan obral izin, izin tambang, izin pengelolaan hutan. Penyimpangan proyek untuk sponsor mereka saat pilkada," ungkapnya.

Atas persoalan ini, menurut Djohermansyah, pemerintah juga telah mengajukan solusi dalam pembahasan RUU Pilkada. Dibuat aturan pembebanan sebagian dana kampanye kepada negara. Sehingga kandidat tidak perlu menggadaikan diri untuk mengumpulkan modal politik.

Kemudian, aturan kampanye disederhanakan. Kampanye metode rapat umum yang selama ini memakan biaya banyak dihapus. Pemasangan atribut dibatasi jumlahnya. Semua atribut diserahkan kepada KPU untuk dipasang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement