REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Gagasan politik pemilihan Kepada Daerah secara langsung sebagaimana yang diusulkan koalisi Merah Putih senada dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia tahun 2012 lalu. MUI menganggap pemilihan kepala daerah oleh DPRD menghasilkan madlorot yang lebih sedikit.
“Keputausan MUI ini obyektif, tidak berkaitan dengan situasi politik hari ini,” ujar Wakil Sekjedn MUI, Amirsyah Tambunan kepada Republika, Kamis (11/9). Sebab, keputusan MUI itu telah tercatat pada 1 Juli 2012 lalu, dalam hasil Ijtima Ulama di Cipasung.
MUI dalam catatan tahun 2012 tersebut menyatakan, jabatan kepala daerah seperti Gubernur, Bupati, Walikota sebaiknya dipilih oleh DPRD Propinsi/ Kabupaten/ Kota. Sementara wakilnya, dipilih oleh Gubernur, Bupati, Walikota terpilih.
Namun, menurut catatan yang sama, hal tersebut tidak serta merta membuat DPRD memiliki kewenangan untuk menjatuhkan kepala daerah terpilih. Oleh karena itu, MUI merekomendasi adanya aturan turunan yang menyatakan bahwa posisi kepala daerah sejajar dengan DPRD setingkat.
Menurut Amisyah, pemilihan kepala daerah oleh DPRD akan meminimalisir pengeluaran negara. Pemghematan APBN dapat mengurangi devisit angaran setiap tahunnya.
Selain itu dapat pula mengurangi praktik korupsi di dalam masyarakat. Menurut dia, hal ini bisa menjaga moralitas masyarakat agara tidak terlalu terganggu moneypolitic. “Meninggal madlorot lebih diutamakan,” ujar Amirsyah.
Selain itu, keputusan MUI juga berdarakan pada tingginya konflik yang terjadi sebelum, saat penyelenggaraan dan setelah pemilukada.
Menurut data yang ada di MUI, Selama pemilukada tahun 2005 hingga 2012, sebanyak 271 orang atau sekitar 17,9 persen dari 753 pasangan kepala daerah hasil pemilihan langsung yang bermasalah secara hukum.