Rabu 10 Sep 2014 22:01 WIB

Ini Saran PBNU untuk RUU Pilkada

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Mansyur Faqih
Pilkada Gubernur Riau.  (ilustrasi)
Foto: Antara/FB Anggoro
Pilkada Gubernur Riau. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Opsi penghapusan sistem pemilihan kepala daerah secara langsung dalam pembahasan RUU Pilkada terus menuai pro-kontra. Namun, di tengah polemik yang terjadi, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) punya pandangan sendiri terkait masalah ini.

Ketua PBNU Slamet Effendi Yusuf mengatakan, pilkada langsung atau lewat DPRD sama-sama memiliki nilai yang demokratis menurut konstitusi. 

Karena, pada pasal 18 ayat 4 UUD 1945 hanya disebutkan bahwa  gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis. 

"Jadi, pasal tersebut dengan sengaja memang tidak dijelaskan apakah demokratisnya itu langsung atau tidak," kata Slamet saat dihubungi Republika, Rabu (10/9).

Hal tersebut, menurutnya, berbeda dengan pemilihan presiden (pilpres) yang secara tegas diatur oleh konstitusi. Pada pasal 6A UUD 1945 dikatakan, presiden dan wapres dipilih secara langsung oleh rakyat. 

Karena itu, kata dia, PBNU menyarankan agar mekanisme pilkada demokratis itu sebaiknya diserahkan kepada masing-masing daerah.

"Mekanisme pilkada tidak bisa disamaratakan untuk seluruh daerah. Sebagian daerah mungkin ada yang sudah siap untuk pemilihan langsung, namun ada juga yang tidak siap. Ini disebabkan kondisi geografis dan tingkat pendidikan masyarakat di tiap-tiap daerah itu beragam,” ujarnya.

Ia mengusulkan supaya RUU Pilkada memberi ruang kepada pemerintahan daerah untuk menentukan sendiri mekanisme pemilihan gubernur, bupati, dan wali kotanya masing-masing. 

"Karena faktanya di pada pilpres kemarin, ternyata ada daerah yang menggunakan mekanisme tersendiri. Seperti di Papua misalnya yang memakai sistem noken, yaitu pemilihan didasarkan atas kesepakatan suatu suku saja," tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement