REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Global Future Institute, Hendrajit menyatakan 30 persen dari total dana subsidi bahan bakar minyak sekitar Rp 200-300 triliun per tahun mengalami kebocoran. Kebocoran itu terjadi dari sejumlah sektor, salah satunya hilir minyak dan gas (migas).
"Mari kita mulai dengan menelisik Peraturan Menteri ESDM (Permen) No 18 tahun 2013 merupakan pintu masuk terjadinya kebocoran-kebocoran di sektor hilir Migas," kata Hendrajit di Jakarta, Selasa (9/9).
Sebab, menurut Hendrajit, kebocoran-kebocoran yang terjadi, bukan sekadar buah dari persekongkolan antara para pelaku kejahatan, baik pemodal atau penadah, atau dengan aparat. "Tapi bahkan karena dilindungi oleh payung hukum," ucap dia.
Misalnya dalam Permen 18/2013 tersebut, untuk sektor perikanan, seluruh seluruh kapal ikan Indonesia yang terdaftar di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) bidang perikanan, berhak mendapatkan subsidi BBM 25 kilo per bulan.
"Padahal Peraturan Presiden no 15 tahun 2012, menegaskan bahwa hanya kapal nelayan dengan ukuran maksimal 30 Gross Ton yang berhak dapat minyak solar bersubsidi," kata dia.
Menurutnya, karena Permen No 18/2013 tersebut cacat hukum lantaran tidak sesuai dengan arahan Perpres No 15/2012, maka Permen tersebut kemudian direvisi dan keluarlah Permen no 06/2014. "Namun sayangnya, Permen ESDM No 06/2014 yang mengatur tentang penyaluran Minyak Solar kepada Usaha Perikanan tidak mengobah secara substansial dari Permen 18/2013," ucap Hendrajit.
Alhasil, kebocoran dana subsidi di Minyak Solar yang dialokasikan kepada Kapal ikan dengan kapastias di atas 30 Gross Ton akibat dari penerapan Permen ESDM No 18/2013 dan No 06/2014, diperkirakan mencapai sebesar kurang lebih Rp 1,7 triliun per tahun. "Tentu saja kebocoran-kebocoran di sektor Hilir Migas yang berasal dari sektor perikanan baru sebagian dari cerita."
Hendrajit juga mengungkapkan kebocoran dari sektor pertambangan batubara di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kebocoran di sana menurutnya mungkin bisa jadi sebuah ilustrasi yang cukup menarik. "Setiap harinya, kebocoran dana subsidi Minyak Solar untuk kegiatan pertambangan batubara diperkirakan mencapai sedikitnya Rp 495 juta per hari. Yang itu berartti Rp 180 milyar per tahun," kata dia memaparkan.
Kerugian negara dari kebocoran dana subsidi Minyak Solar sangat lebih besar lagi dari kegiatan pertambangan batubara di wilayah Kalimantan Timur dan daerah pertambangan batubara lainnya. "Begitu pula terjadi di Pertambangan Nikel, Timah, Pasir Besi, Emas, Perkebunan-perkebunan di seluruh Indonesia."