REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Sejumlah kalangan, khususnya aktivis hak asasi manusia (HAM), menilai selama hampir 10 tahun masa pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak memiliki komitmen politik untuk menuntaskan kasus pembunuhan Munir Said Thalib.
Kasus Munir, aktivis HAM yang tewas 7 September 2004 lalu, hanya berhenti di tataran pelaku lapangan, bukan aktor intelektual. Menanggapi penilaian tersebut, Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha mengatakan, pemerintah memiliki komitmen serius untuk menyelesaikan semua kasus pelanggaran hukum.
"Tidak hanya kasus Munir, tapi juga semua kasus yang terkait dengan HAM atau tindak pidana lain. Saya kira, kita memahami soal itu sebagai sesuatu yang menjadi komitmen dan harapan kita bersama, saya kira demikian," ujar Julian kepada wartawan saat ditemui di Strategic Building, kompleks Indonesia Peace and Security Center (IPSC), Sentul, Bogor, Jawa Barat, Senin (8/9).
Julian mengatakan, silang pendapat mengenai kasus Munir tidak serta merta harus membuat Presiden turut campur.
Ini lantaran Presiden pun memiliki batasan-batasan."Presiden kan tidak memiliki kewenangan untuk masuk di dalam ranah hukum, substansi atau material teknis dari hal-hal yang berkaitan di ranah hukum.
Bahwa komitmen, guidance (petunjuk), sudah dikeluarkan, sudah dinyatakan atau disampaikan oleh Presiden.
Tinggal, itu nanti kita lihat bagaimana prosesnya berjalan," kata Julian. Seperti diketahui, Ahad (7/9), merupakan 10 tahun kematian Munir.
Pada 7 September 2004, pria kelahiran Malang itu ditemukan tak bernyawa dalam penerbangan Jakarta-Belanda. Ia diduga dilenyapkan operasi intelijen.