REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Koperasi (LePPeK) Suroto mengatakan koperasi menghadapi banyak masalah untuk bisa berkembang dan lebih maju di Indonesia.
"Negara yang tadinya sistem ekonomi dan politiknya bersifat sentralistik seperti Indonesia, koperasinya akan menghadapi beberapa tantangan berat," kata Suroto dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu.
Ia mencontohkan di Indonesia koperasi oleh banyak kalangan dianggap gagal dalam memenuhi kebutuhan dan mengemban aspirasi anggotanya dan lebih terkesan sebagai alat pemerintah.
Menurut dia koperasi yang lebih banyak diperankan sebagai alat pemerintah pada masa Orde Baru, pada akhirnya kepentingan dan agenda nasionalnya justru menutup agenda internal anggotanya.
"Dalam hal ini, kita dapat belajar dari kegagalan proyek koperasi unit desa (KUD) serta proyek mercusuar lainya. Proyek yang minus prakarsa dan partisipasi itu semuanya pada akhirnya rontok semua," katanya.
Di Indonesia koperasi juga dinilainya menghadapi tekanan kapitalisme global.
Suroto mencontohkan seluruh regulasi yang ada akan terus menekan koperasi, termasuk aspek-aspek regulasi yang ada akan terus dipaksakan untuk dikompatibilitaskan dengan aturan main korporasi kapitalis, bahkan koperasi terancam ditelan oleh proyek penyeragaman.
"Koperasi juga menghadapi sindrom ketergantungan akut dari para pelaku dan pengembang koperasi akibat fasilitas yang selama ini dinikmati, terutama oleh para elitenya, membuat koperasi benar-benar harus melakukan sebuah revolusi besar untuk berubah," katanya.
Ia kembali mencontohkan pemerintah dan gerakan koperasi yang mengingingkan alokasi dana APBN dan peranan yang kuat pemerintah dalam urusan koperasi menjadi pertanda bahwa sindrom ketergantungan akut koperasi ini sudah berada dalam titik nadir.
"Krisis besar atas ideologi koperasi juga telah sebabkan krisis kepemimpinan dan kepercayaan. Ini bisa dilihat dari mental pemerintah yang menangani secara khusus persoalan koperasi, dan juga elite gerakan koperasinya," katanya.