REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum tata negara, Refly Harun menyarankan agar Mahkamah Konstitusi (MK) memberlakukan paradigma baru.
Yaitu, jika ada yang mengajukan uji materi, putusan apa pun yang diberlakukan ditujukan tidak secara umum. Melainkan untuk dirinya sendiri.
Hal tersebut disebut constitutional complain. Yaitu pengajuangugatan uji materi oleh seseorang yang merasa dirugikan oleh undang-udndang tertentu. "Negara Jerman dan Afrika Selatan telah menerapkannya," ujarnya kepada Republika, Sabtu (6/9).
Nantinya, kata dia, MK harus ketat dan selektif dalam memutus suatu gugatan. Termasuk menimbang kerugian yang nyata dari pemohon.
Putusannya, lanjut dia, tidak akan sama bagi setiap orang yang melakukan gugatan atas undang-undang yang sama.
Ia mencontohkan, misal ada pasangan yang merasa dirugikan karena mereka menikah beda agama dan telah memiliki anak. Otomatis, pernikahannya tidak diakui negara dan status anak pun dipertanyakan.
Untuk kebutuhan tertentu, sang anak pun membutuhkan pengakuan. Misalnya dalam hal pembagian warisan keluarga.
Bisa jadi keputusan MK akan dikabulkan atau ditolak dengan maksud memberikan keputusan yang terbaik bagi pemohon dan masyarakat secara luas.
Permohonan mahasiswa dan alumni Universitas Indonesia (UI) kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Perwakinan seharusnya didasarkan pada tujuan kongkrit.
Sebab, pernikahan beda agama telah berulang kali menuai pro-kontra. Bahkan, menjadi sensitif karena berkaitan dengan ranah personal yang seharusnya tidak digeneralisasi.
"Untuk kasus yang sangat sensitif seperti ini, orang tidak bisa secara mudah mengajukan judicial review kepada pemerintah sembarangan. Apalagi dia tidak mengalami kerugian dari undang-undang yang dimohon untuk diuji itu," katanya.