REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Permohonan mahasiswa dan alumni Universitas Indonesia (UI) kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Perwakinan seharusnya didasarkan pada tujuan kongkrit.
Sebab, pernikahan beda agama telah berulang kali menuai pro-kontra. Bahkan, menjadi sensitif karena berkaitan dengan ranah personal yang seharusnya tidak digeneralisasi.
"Untuk kasus yang sangat sensitif seperti ini, orang tidak bisa secara mudah mengajukan judicial review kepada pemerintah sembarangan. Apalagi dia tidak mengalami kerugian dari undang-undang yang dimohon untuk diuji itu," kata pakar hukum tata negara Universitas Indonesia, Refly Harun kepada Republika, Sabtu (6/9).
Para pemohon, lanjut dia, tidak dalam situasi benar-benar berkepentingan terkait dengan UU Nomor 1/1974. Berdasarkan pengamatannya, mereka bahkan belum berniat melakukan pernikahan. Karenanya, keputusan MK seharusnya menjadi solusi, bukan melahirkan kontroversi.
Ia melihat proses uji materi itu sebagai hal yang gampang-gampang susah. Jika melihat tinjauan konstitusi, dalam pasal 29 ayat 1 disebutkan, setiap orang berhak memeluk agama dan kepercayaan sesuai yang diyakininya. "Itu tidak ada masalah jika hanya menjangkau ranah privat," katanya.
Namun, lanjut dia, persoalan muncul ketika memasuki ranah publik. Karena terdapat pembatasan sosial yang ditinjau dari berbagai aspek. Intinya, berdasarkan pranata sosial masyarakat masih sulit menerima pernikahan beda agama.
Ia menerangkan, keputusan MK tak semata-mata berdasarkan teks konstitusi yang tertulis. Namun, ada pertimbangan pranata sosial atau nonyuridis yang menyebabkan hal tersebut tidak mudah dikabulkan. "Faktor nonyuridis selalu berpengaruh pada keputusan MK," ujarnya.