REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana reklamasi Teluk Benoa di Bali menuai pro dan kontra. Pihak yang menolak beralasan, reklamasi akan memberikan dampak buruk dalam aspek lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya.
Menanggapi hal ini, anggota DPR Komisi IX asal Bali, Gede Pasek Suardika berpendapat, reklamasi tersebut belum terlalu mendesak. "Kalau menurut saya, saya melihat reklamasi untuk kepentingan 700 hektare di Teluk Benoa itu belum urgent," tutur Pasek kepada Republika, Jumat (5/9).
Menurut dia, pemerintah pusat dan pemprov Bali harus memastikan tingkat kebutuhan reklamasi. Seberapa penting reklamasi itu harus dilakukan.
Setelah itu, pemerintah juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitar. Baik terkait manfaat mau pun dampaknya.
Kalau pemerintah mau menata, ujar dia, seharusnya ditujukan untuk kepentingan wisata air. Sehingga manfaatnya bisa dirasakan masyarakat sekitar dan tidak merusak lingkungan.
Dengan begitu, wisata air akan semakin berkembang dan menjadi milik masyarakat bersama. Namun, ketika reklamasi dilakukan, maka tidak bisa dikatakan lagi sebagai teluk.
Pasek juga menyayangkan pekerjaan reklamasi tersebut yang diserahkan pada pengeloaan swasta. Sehingga akan menjadi miliki pribadi.
Padahal, kalau pun reklamasi dianggap mendesak, seharusnya pengelolaan dilakukan oleh pemprov. "Untuk apa tanah di Bali direklamasi, kemudian diberikan kepada seorang pengusaha. Ini agak rumit dipahami," tambah anggota DPR terpilih itu.
Teluk Benoa seluas 838 hektare rencananya akan direklamasi oleh PT Tirta Wahana Bali International (TWBI). Reklamasi tersebut dianggap telah melanggar Perpres “Konservasi” Sarbagita. Yaitu Perpres No 45/2011 yang isinya menyatakan Teluk Benoa Bali adalah kawasan konservasi perairan.