REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Terpilih Joko Widodo menilai jabatan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia (BI) adalah jabatan yang sangat rentan terhadap intervensi asing. Ia menginginkan agar kedua jabatan tersebut dipegang oleh orang yang nasionalis dan tidak didikte asing.
Namun, ia mengaku masih terbuka terhadap investasi asing asalkan tidak merugikan rakyat Indonesia. Hanya saja, Ekonom Indef Eko Listiyanto menilai di era globalisasi seperti saat ini, Pemerintah tak dapat anti asing.
"Kita harus rasional dan melihat situasi. Beda dengan zaman Soekarno. Sekarang kita tak bisa usir asing," ujar Eko, Kamis (4/9). Nasionalis, menurutnya, tidak berarti anti asing. Nasionalis dapat juga berarti melindungi rakyat agar sejahtera dengan membuat kebijakan yang mampu menjaga stabilisasi ekonomi agar tidak mudah goyang.
Ia mengatakan, Menkeu dan Gubernur BI dalam Pemerintahan SBY juga nasionalis, tetapi kebijakannya ke arah pasar. Arah kebijakan mereka adalah meningkatkan PDB dengan cara membangun sektor ekonomi yang padat modal.
Hal tersebut berdampak pada peningkatan gini rasio. "Kelas menengah ke atas, pendapatannya tumbuh lebih cepat. Itu berarti yang menikmati keuntungan itu masyarakat menengah ke atas. Ke depan harus diubah," ujarnya.
Kebijakan tersebut, menurutnya, juga membuat PDB Indonesia mudah goyah. Ia menilai, ke depannya Pemerintah harus membangun ekonomi dengan melibatkan rakyat dan industri usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
"Rakyat harus dilibatkan dalam prekonomian, seperti di Jepang. Yang kecil-kecil menyatu jadi mereka lebih kuat. Pelaku ekonomi merata. Semua ikut aktif," ujarnya.