Kamis 04 Sep 2014 23:10 WIB

Kisah Dibalik Wisata Lumpur Lapindo

Rep: C54/ Red: Indira Rezkisari
Puluhan patung manusia lumpur berdiri di atas lumpur lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (11/7). (Republika/ Yasin Habibi).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Puluhan patung manusia lumpur berdiri di atas lumpur lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (11/7). (Republika/ Yasin Habibi).

REPUBLIKA.CO.ID, Luapan lumpur Lapindo pada 2006 lalu telah melenyapkan 16 Desa dan tiga Kecamatan di Kabupaten Sidoarjo dan Pasuruan. Sejak saat itu, ribuan orang kehilangan mata pencahariaan.

Salah satu di antara mereka adalah Sadili (44). Sejak tempat kerjanya, pabrik pembuat beton, turut tertimbun, Sadili menjadi pengangguran. Setelah sempat bekerja serabutan, hari ini Sadili dan sesama kawan-kawannya yang menganggur mengambil maanfaat dari para pengunjung yang berdatangan ke lokasi tanggul lumpur.

Sadili dan sekitar 150-an orang menjadi pengojek yang siap mengantarkan para pengunjung berkeliling tanggul seluas 640 hektare itu. Dari menjajakan jasa tersebut, Sadili mengaku bisa membawa pulang kira-kira Rp 30 ribu sehari.

Di akhir pekan, dia bercerita, pendapatannya jauh lebih besar, bisa mencapai Rp 70 ribu hingga Rp 100 ribu rupiah. Selain menjajakan jasa ojek, Sadili juga menawarkan suvenir berupa dokumentasi video tragedi lumpur Lapindo.

Video tersebut dikemas dalam bentuk cakram padat (CD). Kepada pengunjung, CD tersebut ditawarkan dengan harga Rp 50 ribu. “Ini titipan dari Karang Taruna, Mas,” ujar dia, Kamis (4/9) siang.

Lokasi favorit para pengunjung, menurut Sadili adalah titik 21, yang berada persis di samping Jalan Raya Porong. Dalam peringatan delapan tahun tragedi lumpur Lapindo, Mei lalu, seorang seniman menempatkan 110 patung manusia di lokasi lumpur.

Patung-patung berwarna putih itu berdiri dengan posisi kedua tangan menengadah. Pada tangan mereka, ditaruh bermacam benda, mulai dari kompor, gayung, dan perabot dapur lainnya.

Sayang kini kondisi patung-parung tersebut sebagian hampir tenggelam karena luapan lumpur. Beberapa tinggal setengah badan, yang lainnya hanya tinggal kepala.

Memasuki kawasan ‘wisata lumpur’ tersebut, pengunjung akan diberhentikan dipintu masuk. Beberapa orang pria biasa berjaga di sana. Salah seorang dari mereka akan menghampiri Anda untuk menarik biaya masuk sebesar Rp 10 ribu.

“Itu nanti uangnya kita bagi-bagi, Mas. Ya, bagaimana, ratusan orang mencari nafkah dari sini,” ujar Sadili.

Sadili yang harus menghidupi istri dan empat orang anak mengaku kepayahan mencari uang. Uang ganti rugi beberapa puluh juta, diakuinya, menguap tidak terasa.

Sadili bercerita, dari total 465 juta yang seharusnya dia terima, baru 70 persen saja yang dibayarkan PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Dana yang diberikan dengan cara dicicil itu terasa tidak berarti karena harus dibagi dengan empat saudaranya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement