Kamis 04 Sep 2014 22:14 WIB

Pemerintah Sulit Pantau Keefektifan Sumur Resapan

Meski kewajiban membangun sumur resapan sudah diberlakukan mekanisme pemantauannya masih jadi kendala.
Foto: Rakhmawaty La'lang/Republika
Meski kewajiban membangun sumur resapan sudah diberlakukan mekanisme pemantauannya masih jadi kendala.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (DPPB) DKI Jakarta mengakui kesulitan mengawasi keefektifan sumur resapan untuk mengalirkan kembali air permukaan. Kesulitan dikarenakan letak sumur yang berada di dalam tanah.

"Kami pastikan bangunan baru di Jakarta sudah disertai sumur resapan tetapi sulit memantau keefektifan sumur serapan untuk menyerap kembali air permukaan," kata Kepala Bidang Pengawasan Kelaikan Bangunan DPPB DKI Jakarta Pandita di Jakarta, Kamis (4/9).

Ia menjelaskan, sumur resapan itu seperti tangki septik sehingga tidak bisa dilihat seperti saluran pembuangan atau got. Sumur resapan merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 20 Tahun 2013 tentang Sumur Resapan sehingga DPPB memantau sejak perencanaan.

"Kami awasi sejak dari perencanaan sampai proses pembangunan," katanya.

Pandita mengatakan aturan tentang kewajiban membuat sumur resapan bagi bangunan yang menutupi tanah sudah ada sejak lama, yaitu 2001. Peraturan gubernur itu sudah direvisi dua kali dan terakhir kali menjadi Peraturan Gubernur Nomor 20 Tahun 2013.

Sebelumnya, pakar hidrologi Sutopo Purwo Nugroho mengatakan sumur resapan merupakan salah satu solusi yang cukup efektif untuk mengatasi permasalahan kerusakan sumber daya air di Jakarta. Diperkirakan air hujan yang turun di Jakarta 2.000 juta meter kubik per tahun. Hanya 532 juta meter kubik per tahun atau 26,6 persen yang masuk ke tanah karena 1.468 juta meter kubik atau 73,4 persen mengalir ke laut.

Dari kawasan Bogor, Jakarta mendapat pasokan air tanah 37 juta meter kubik per tahun. Sementara, potensi air tanah dangkal Jakarta hanya 492 juta meter kubik per tahun dan air tanah dalam 77 juta meter kubik per tahun.

Batas aman pengambilan air bawah tanah adalah 30 persen hingga 40 persen dari potensi atau hanya 185 juta meter kubik per tahun.

Namun, pada 2005 saja, Jakarta mengalami defisit air tanah sebesar 66,65 juta meter kubik per tahun. Akibatnya, amblesan muka tanah di Jakarta rata-rata 3,5 centimeter per tahun. Sementara, kenaikan muka laut mencapai 4,38 milimeter hingga tujuh milimeter per tahun.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement