REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana Universitas Padjadjaran Bandung, Romli Atmasasmita berpendapat, kasus sengketa pajak tidak bisa ditarik menjadi perkara tindak pidana korupsi. Menurutnya, jika ada aparat penegak hukum yang menarik kasus sengketa pajak menjadi perkara tindak pidana korupsi, maka dia telah melakukan penyalahgunaan kewenangan.
Dalam diskusi publik bertema 'Solusi Sengketa Pajak: Administrasi atau Pidana?' yang diadakan Journalist of Law Jakarta, IG and Partner dan Center For Indonesia Taxation Analysis (CITA) di Jakarta, Rabu (3/9), Romli menjelaskan, penegakan hukum tidak dapat dilakukan dengan menyalahgunakan kewenangan atau melanggar undang-undang.
Karena merasa harus memberantas korupsi, kata Romli, maka penegak hukum menjadikan kasus sengketa pajak sebagai kasus korupsi. "Bagi saya, hal itu sudah merupakan penyalahgunaan kewenangan," kata Romli.
Ia menyebut, jika hingga kini masih ada aparat penegak hukum yang menarik kasus sengketa pajak ke ranah tindak pidana korupsi, maka itu merupakan kesalahan besar. "Hukum pajak itu sanksinya adalah administrasi, tidak boleh dibawa ke tindak pidana korupsi karena undang-undangnya itu, tidak mengarah ke tindak pidana korupsi," kata Romli.
Dijelaskannya, harus ada pemisahan yang tegas kapan sengketa pajak itu dikatakan sebagai kasus korupsi dan kapan itu administrasi. "Kecuali kalau ada (oknum penyuap dan yang disuap) yang tertangkap tangan, maka sengketa pajak dapat dibawa ke ranah tindak pidana korupsi," ujar dia.
"Itupun, kata Romli melanjutkan, "kenanya dengan pasal penyuapan atau gratifikasi dan bukan pasal tentang merugikan keuangan negara."
Jadi pasal yang dapat menjeratnya itu, kalau tidak gratifikasi, pasti suap. "Karena secara normal, Undang-Undang Pajak itu bukan korupsi," imbuh dia.
Ditanya bagaimana terhadap wajib pajak yang telah melanggar ketentuan pidana administrative sehingga negara mengalami kerugian, Romli mengatakan, dalam Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP) itu tidak tersedia ketentuan yang memberlakukan UU Tindak Pidana Korupsi terhadap wajib pajak, akan tetapi wajib pajak dapat ditetapkan sebagai pelaku peserta eks Pasal 43 UU KUP.
"Tampaknya pembentuk UU KUP tidak berkehendak pelanggaran UU KUP dipidana dengan ancaman pidana UU Tipikor, namun dalam praktek telah terjadi sebaliknya, banyak perkara pajak menjadi perkara tipikor," kata Romli.
Executive Director Center For Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo, punya pandangan lain. Menurutnya, sistem perpajakan Indonesia memungkinkan terjadinya sengketa pajak antara fiskus dan wajib pajak.
Yustinus menyatakan, selaras dengan sifat UU Perpajakan sebagai hukum administrasi yang memiliki konsekuensi pidana, Ditjen Pajak seyogyanya mengedepankan pembinaan dengan pendekatan administratif sebagai primum remedium dalam rangka menghimpun penerimaan negara. "Guna mendorong dan memberi kesempatan wajib pajak melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) dan melakukan pengungkapan ketidakbenaran," kata Yustinus.