REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Besarnya alokasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengakibatkan ruang fiskal menjadi terbatas. Menurut Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia I Kadek Dian Sutrisna Artha, terdapat tiga opsi untuk mengurangi belanja subsidi BBM.
Pertama, membatasi penggunaan energi fosil tersebut. Kedua, menaikkan harga jual. Ketiga, menerapkan subsidi tetap.Maksudnya, setiap liter BBM dialokasikan anggaran semisal Rp 1.000 per liter. Jika nanti terdapat perubahan sejumlah variabel seperti nilai tukar rupiah, maka harga BBM akan naik atau turun mengikuti.
Berdasarkan kajian LPEM, Artha menyebut menaikkan harga jual adalah opsi terbaik. Terdapat dua aspek yang dicermati yakni dari sisi penghematan dan inflasi. "Penghematannya besar sekitar Rp 48 triliun dan inflasi pun moderat di mana tambahannya sekitar satu persen," kata Artha.
Namun begitu, Artha menyebut kenaikan harga BBM juga mutlak memperhitungkan timing (waktu pelaksanaan). Tingkat inflasi pada kurun waktu tertentu, harus diperhatikan. Berdasarkan data dari tahun ke tahun, inflasi rendah umumnnya terjadi pada Maret-April dan September.
"Pemerintah harus concern pada waktu," ujar Artha.
Selain itu, dampak ekonomi akibat kenaikan harga BBM juga harus diperhatikan. Sebab, transmisi imbas kenaikan ini berbeda di sejumlah daerah.Sebagai contoh di Nusa Tenggara Timur. Di sana, kenaikan harga BBM mengakibatkan kenaikan harga barang maupun jasa di sektor kesehatan.
"Mungkin karena obat-obatan berasal dari Jawa dan harus dibawa dengan alat transportasi. Kalau naik, maka beri pengaruh," kata Artha.