REPUBLIKA.CO.ID,BOGOR--Peningkatan kesejahteraan telah banyak dilakukan oleh pemerintah. Diantaranya, dengan membangun koperasi. Namun, saat ini masih banyak kendala. Banyak koperasi yang tidak sehat, bahkan tak sedikit yang bubar.
Mengapa demikian? Rupanya, koperasi dibangun secara top down, padahal semestinya bottom up. Demikian yang disampaikan Dr.Ir.Lukman M.Baga, MA.Ec dari Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, saat menjadi narasumber dalam Dialog Pakar di Siaran Pedesaan RRI Bogor, 93.75 FM belum lama ini.
Membangun koperasi di Indonesia, menurut Lukman, semestinya tidak susah. Indonesia yang mempunyai budaya berkumpul, budaya silaturahmi, biasanya menyelenggarakan arisan. Nah, arisan sejatinya modal yang sangat baik untuk dijadikan sarana untuk membangun koperasi.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh International Co-operative Alliance, bahwa koperasi adalah kumpulan otonom dari orang-orang yang berkumpul secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan mereka yang sama di bidang ekonomi, sosial dan budaya melalui perusahaan yang didirikan secara bersama dan dikontrol secara demokratis.
Koperasi dapat terbentuk dan tumbuh secara kokoh jika dapat melayani kebutuhan anggotanya dengan sebaik mungkin. Pengertian pelayanan sebaik mungkin adalah pelayanan yang tepat mengenai kebutuhan utama yang dirasakan secara bersama (common needs) oleh para anggota koperasi.
Jika masyarakat mengalami kesulitan dalam mengakses pembiayaan baik untuk modal usaha maupun memenuhi kebutuhan temporer terhadap likuiditas yang mendesak, maka koperasi yang dibutuhkan adalah koperasi simpan pinjam (KSP).
Ketika ditanya tentang cara mengelola koperasi yang baik, Lukman menjawab, pertama harus ada yang berinisiatif untuk merintis. Orang ini dikenal sebagai co-operative pioneer yang sebaiknya berasal dari kalangan masyarakat bawah, dari komunitasnya sendiri. Biasanya orang-orang ini merupakan para informal leader atau kalangan terdidik yang memiliki kepedulian terhadap upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Inisiatif untuk mengembangkan usaha bersama ini dikaitkan dengan adanya peluang untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar dari hasil usaha masyarakat, jika dilakukan
secara bersama dibandingkan secara individual.
Hal ini dikenal sebagai peluang untuk mendapatkan efek koperasi (co-operative effects). Oleh karenanya, para co-operative pioneer ini dapat juga dikategorikan sebagai co-operative entrepreneur (wirakoperasi).
Tak jarang, di kalangan masyarakat pedesaan tidak ada sosok orang-orang co-operative entrepreneur. Dari sini, maka diperlukan program pelatihan yang dirancang sedemikian rupa agar dimungkinkan lahirnya para co-operative pioneer-entrepreneur dari kalangan masyarakat pedesaan itu sendiri.
Atau dapat juga diupayakan dengan menerjunkan tenaga terdidik (misalnya alumni perguruan tinggi) yang memiliki motivasi dan perhatian besar dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hendaknya, tenaga terdidik ini telah mendapatkan pelatihan khusus terkait dengan penguatan jatidiri koperasi dan beberapa keterampilan dasar yang dibutuhkan dalam mengembangkan koperasi di masyarakat.