Jumat 29 Aug 2014 23:40 WIB

Masyarakat Puncak Bogor Alami Krisis Identitas

 Panorama kebun teh di kasawan Puncak Bogor, Jawa Barat.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Panorama kebun teh di kasawan Puncak Bogor, Jawa Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Peneliti dan pengamat Tata Ruang Institut Pertanian Bogor (IPB), Ernan Rustia mengatakan, masyarakat Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, mengalami krisis identitas dengan masuknya wisatawan asing, terutama Timur Tengah.

"Masyarakat di kawasan Puncak menyadari situasi yang mereka hadapi, krisis identitas, bekerja sebagai penjaga vila yang identik dengan prostitusi dan persoalan sosial, belum lagi budaya Arab yang mulai masuk," kata Ernan saat ditemui dalam acara Halalbihalal Konsorsium Aksi Bersama Penyelamatan Kawasan Puncak, di Kampus IPB Baranangsiang, Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (29/8).

Dia mengatakan, krisis multidimensi telah terjadi di kawasan Puncak. Pascapenertiban vila liar, telah menimbulkan persoalan baru dimana sekitar dua kampung yang seratus persen warganya menggantungkan pekerjaan sebagai penjaga villa harus kehilangan mata pencaharian.

Dia menilai, saat ini kawasan Puncak mengalami kekosongan hukum. Di kawasan tersebut terdapat kawasan hutan yang di bawah pengawasan Kementerian Kehutanan. Juga ada hutan lindung, dan kawasan perkebunan yang perizinannya ada di Pusat bukan di Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor.

Dalam kondisi tersebut, lanjutnya, Pemerintah Kabupaten Bogor seolah tidak mempunyai kewenangan dalam mengelola kawasan Puncak, hingga menyebabkan kawasan tersebut mengalami krisis multidimensi.

"Di saat Pemda tidak punya kewenangan, di satu sisi lainnya, pemerintah daerah memiliki masalah dengan tata batas dan tata ruang antara pemerintah kabupaten dan tata ruang provinsi serta kehutanan yang tidak sama," katanya.

Begitulah Ernan menggambarkan krisis multidimensi yang terjadi di kawasan Puncak, selain persoalan lingkungannya sebagai daerah resapan air bagi kawasan hilir Jakarta. Menurut dia, ruang abu-abu yang tercipta di kawasan Puncak yang menyebabkan munculnya calo-calo yang leluasa menjual belikan tanah, hingga ada orang besar yang membangun vila senilai miliaran rupiah.

"Situasi Puncak yang tidak bisa melihat dengan kemampuannya, ketidakjelasan itu, banyak pejabat daerah tingkat rendah seperti lurah, kepala desa menjembatani pembelian tanah, dan BPN turut terlibat, menjadikan Puncak ditumbuhi bangunan-bangunan liar hingga mengurangi fungsinya sebagai daerah resapan," katanya.

Dari situasi itu, lanjutnya, Konsorsiuam Aksi Bersama Penyelamatan Kawsan Puncak yang dikoordinatorinya, sempat membahas adanya otoritas sendiri yang mengelola kawasan Puncak. Ia mengatakan, otoritas tersebut seperti lembaga yang mampu menjembatani setiap persoalan yang ada di kawasan Puncak.

"Kita membutuhkan pemimpin yang berani. Seorang bupati bukan tidak punya kewenangan untuk masuk kawasan hutan dan perkebunan, jika dia punya visi dia bisa masuk di kedua kawasan ini. Tapi persoalannya, Pemda itu sendiri masuk bagian dari masalah itu, karena ada aparatnya yang ikut terlibat," kata Ernan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement