Rabu 27 Aug 2014 12:00 WIB

POGI Denpasar Tolak Aborsi Tanpa Rekomendasi

Aborsi(ilustrasi)
Aborsi(ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonsia (POGI) atau dokter ahli kandungan Denpasar, tetap menolak praktik pengguguran kandungan atau aborsi. Andai mereka mengaku sebagai korban perkosaan kata Ketua POGI Bali, dr Made Suyasa Jaya Sp.OG (K), yang bersangkutan harus membawa surat keterangan sebagai korban perkosaan.

"Mereka harus mendapat izin atau rekomendasi untuk melakukan aborsi, jadi praktik aborsi oleh dokter harus legal," kata Suyasa di Denpasar, Rabu (27/8).

Hal itu dikemukakan Suyasa menjawab wartawan di sela-sela kegiatan bersih-bersih sampah di pantai Sanur oleh anggota POGI. Acara sosial itu merupakan rangkaian dari acara Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) POGI 2014. Kegiatan yang akan berlangsung 28-30 Agustus, dihadiri sekitar 2.600 dokter ahli kandungan dan menampilkan pembahasan 270 makalah ilmiah.

Menurut Suyasa, kendati sudah ada PP tentang aborsi korban perkosaan, perlu diatur juga tentang lembaga yang berhak menyatakan seseorang sebagai korban perkosaan. Dengan demikian sebutnya, tidak semua orang yang tidak mengharapkan kehamilannya menyatakan dirinya sebagai korban perkosaan. "Jadi harus ada lembaga yang berwenang memberikan rekomendasi itu," katanya.

Lembaga yang dimaksudkan Suyasa adalah lembaga yang terintegrasi yang di dalamnya ada perwakilan berbagai unsur, seperti dokter ahli kandungan, psikolog dan juga polisi. Mereka kata Suyasa, yang nantinya saling melangkapi untuk bisa menyatakan seseorang diperbolehkan melakukan aborsi dan sekaligus mengeluarkan rekomendasinya.

Sementara itu sebelumnya, dalam pertemuan Jaringan Aktivis Perempuan di Kuta Bali, Selasa (26/8), Ketua Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Dian Kartikasari mengatakan, bahwa praktik aborsi di Indonesia dianggap sebagai kriminal. Namun untuk korban perkosaaan sebutnya, aborsi bisa dimengerti sebagai solusi untuk menghilangkan trauma korban. "Kita bisa memahami itu. Mereka sudah menjadi korban, apa iya mau dijadikan tersangka lagi karena kasus aborsi," katanya.

Di sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara, aborsi bukan merupakan sesuatu yang dianjurkan ataupun dilarang bagi korban perkosaan. Namun keputusan aborsi diserahkan sepenuhnya oleh korban. "Di Filipina, kami tidak menganjurkan aborsi, namun korban boleh menempuh cara itu untuk mengatasi masalahnya," kata Edwin Tabora, utusan Filipina dalam pertemuan Jaringan Koalisi Perempuan.

sumber : Ahmad Baraas
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement