REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi usai menggelar sidang kelima uji materi pasal 16 dan 26 UU No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial yan g dimohonkan Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli dari pemohon yaitu Ifdhal Kasim dan Letjen (purn) Agus Widjoyo, Senin (25/8).
Mantan Ketua Komnas Hak Asasi Manusia (HAM), Ifdhal Kasim mengatakan pada pasal 16 UU Penanganan Konflik Sosial tentang kewenangan menetapkan status konflik selain presiden bisa didelegasikan kepada gubernur dan bupati/walikota tidak menguntungkan bagi perlindungan HAM.
Pasalnya, penetapan status konflik oleh gubernur, bupati dan walikota memungkinkan adanya dampak pembatasan HAM. “Situasi konflik tidak terdefinisi dengan jelas,” ujar Ifdhal Kasim saat memberikan keterangan ahli di ruang sidang pleno di Gedung MK.
Ia menuturkan dalam menetapkan keadaan konflik maka Bupati dan walikota harus mendiskusikan dengan DPRD. Artinya terdapat dimensi politik yang cukup kental dalam penetapan daerah konflik itu. Selain itu, ketentuan penetapan daerah konflik atau keadaan darurat merupakan ketentuan dualisme yang menimbulkan ketidakpastian hukum.
Pasalnya, keadaan darurat sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yang didalamnya mengatur kerusuhan sosial dengan kewenangan presiden. Ketentuan penetapan konflik juga diatur dalam dalam UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
“Kedua UU yang berlaku mengakibatkan dualisme hukum pengaturan keadaan darurat di Indonesia karena mengatur substansi yang sama. Namun, terdapat perbedaan mengenai wewenang dalam menetapkan keadaan darurat,” ungkapnya.
Ifdhal menyarankan agar kewenangan gubernur, bupati, dan walikota dalam menetapkan status daerah konflik harus dicabut dan dikembalikan kepada presiden. “Kewenangan itu mutlak berada di tangan presiden, sehingga pasal-pasal itu harus dinyatakan inkonstitusional,” ungkapnya.
Terpisah, saksi ahli pemohon lainnya, mantan Kepala Staf Teritorial TNI , Letjen TNI (Purn) Agus Widjoyo mengatakan pemerintah daerah tidak bisa menjangkau TNI dan Polri untuk mengerahkan pengamanan di daerah yang sedang mengalami konflik sosial tanpa perintah presiden. “Yang bisa memerintahkan TNI dan Polri ke daerah adalah presiden karena TNI dan Polri sifatnya menerima perintah langsung dari pusat,” ungkapnya.
Meski begitu, dalam menetapkan status darurat, presiden tidak begitu saja langsung menetapkan. Presiden harus melihat dan mendengar laporan dari kepala daerah yang bersangkutan. “Presiden tidak bisa langsung menyatakan status keadaan darurat sebelum ada masukan kondisi keamanan di daerah,” ungkapnya.
Agus menambahkan dalam UU Keadaan Bahaya sudah diatur dengan jelas, mekanisme penanganan situasi keadaan bahaya termasuk konflik di daerah. Bentuknya, bisa dengan status keadaan tertib sipil, darurat sipil, darurat militer, dan darurat perang. Masing-masing status keadaan darurat mempunyai kewenangan hukum yang berbeda. “Misalnya, penetapan darurat militer berada di tangan pemerintah pusat, seperti di Aceh,” ungkapnya.