Rabu 18 Oct 2017 07:46 WIB

Sri Sultan danTeladan Pengalihan Kekuasaan dari Bapak Bangsa

Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan AHJ Lovink menandatangi dokumen dalam upacara Pengakuan Kedaulatan Indonesia di Istana Negara 27 Desember 1949.
Foto: ANRI
Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan AHJ Lovink menandatangi dokumen dalam upacara Pengakuan Kedaulatan Indonesia di Istana Negara 27 Desember 1949.

Kekuasaan itu melenakan. Hanya orang yang berhati mulai yang selalu lapang dada ketika kekuasaan dicabut dari dirinya. Hal ini disebabkan atas kesadaran dirinya bahwa kekuasaan adalah bukan miliknya pribadi, namun merupakan amanat penderitaan rakyat yang harus dia junjung tinggi, bukan hanya di dunia saja namun hinga akhirat.

Harus diakui pula, para pendiri bangsa ini (founding father), telah menunjukan seperti apa bersikap pada kekuasaan. Dari data sejarah yang ada mereka bukanlah orang yang haus pada kekuasaan. Mereka lapang dada ketika kekuasaannya itu berakhir.Bagi mereka malah muncul kesadaran: Menjadi pemimpin adalah menempuh jalan menderita!

Sikap 'kanaah' terhadap kekuasaan itu, salah  satu contohnya adalah ditunjukan pada saat momentum penyerahan kedaulatan dari Belanda ke RI seusai ditandatanganinya perjanjian Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Denhaag, pada tanggal 27 Desember 1927.

Pada acara yang di di gelar Istana Negara, Jakarta, kala itu delegasi Indonesia yang diwakili Sri Sultan Hamengku Buwono IX, datang ke acara itu dengan sikap bahasa tubuh yang ramah. Pejabat perwakilan Belanda selaku Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia,  AHJ Lovink yang memang saat itu ditunjuk sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia,  pun menyambut kedatangan Sri Sultan di tangga Istana Negara dengan sikap hangat. Laksana kedua 'kesatria' (gentleman), mereka saling membungkuk dan memberi hormat dan berjabat tangan. Tak ada bahasa tubuh merendahkan meski kedua belah pihak telah ‘bermusuhan’ begitu lama dan sudah mengalami perseteruan dengan penuh darah, air mata, harta benda, bahkan hingga korban jiwa.

Tak hanya itu Sri Sultan kemudian mengantarkan kepulangan Lowink ke negerinya di Bandara Kemayoran. Para pejabat negara Indonesia mengantarkan perwakilan Belanda hingga tangga pesawat terbang. Acara penyerahan kekuasaan berupa kembalinya kedaulatan kemerdekaan Indonesia yang sudah diproklamasikan 17 Agustus 1945 berlangsung mulus.

Maka itulah pelajaran mulia dari bapak pendiri bangsa  mengenai apa yang dimaksudkan dengan penyerahan kekuasaan. Namun sayang di zaman masa kini, setelah sekitar 70 tahun kemudian, sikap lapang dada ini mulai dilupakan. Ada kesan kekuasaan adalah segalanya dan harus dipertahankan dengan cara apa saja. Demokrasi berarti bila kekuasaan itu ada pada pihaknya. Sedangkan bila kekuasaan terlepas dari genggamannya, maka mereka dengan gampang mengatakan pihak seterunya sebagai orang yang curang atau pihak yang bertindak culas.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement