REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga negara pengawas pelayanan publik, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menilai pelarangan penjualan BBM bersubsidi di SPBU Tol sangat diskriminasi.
"Kami akan melayangkan teguran terkait kebijakan pelarangan penjualan BBM bersubsidi di SPBU Jalan Tol, sebagaimana bunyi SE BPH Migas No. 937/07/Ka BPH/2014 tertanggal 24 Juli 2014," kata Ketua Ombudsman RI, Danang Girindrawardana dalam siaran persnya, Selasa.
Ia mengatakan langkah ini dilakukan karena Ombudsman menilai kebijakan pemerintah untuk pengendalian BBM ini terlalu parsial dan diskriminatif.
"Ombudsman RI, sesuai dengan peran dan kewenangannya, secepatnya akan menegur Pemerintah terkait dengan hal ini," tegasnya.
Menurut Danang, pembatasan penjualan BBM semestinya berlaku di seluruh SPBU. Bilamana dirasa sulit diberlakukan, pembatasan itu bisa dilakukan berdasarkan teritori kota metropolitan pada area yang lebih luas. Itu pun harus berdasarkan data yang menunjukkan penyedotan jatah premium bersubsidi yang nisbi tinggi.
Misalnya, Danang mencontohkan, pengendalian BBM yang berlaku di seluruh wilayah DKI Jakarta.
"Jangan sepenggal jalan tol saja, karena jika ini yang dilakukan justru akan memicu siasat para pengemudi untuk mengisi BBM di luar area tol dan misi penghematan tidak akan tercapai," jelasnya.
Pimpinan lembaga independen ini juga mengatakan, kebijakan tersebut terindikasi maladministrasi dilihat dari sisi kebijakan yang diskriminatif.
Sikap diskriminasi ini berpotensi merugikan sebagian pelaku usaha karena semestinya kebijakan disusun dengan sudut pandang perlakuan adil bagi seluruh pengusaha dan benar-benar berdampak positif bagi penghematan anggaran negara.
Lebih lanjut, Danang mengungkapkan, upaya pemerintah terkait pengelolaan BBM bersubsidi ini bukan kali pertama dilakukan.
Regulasi penghematan BBM bersubsidi telah berulangkali digelontorkan namun dieksekusi secara tidak tuntas dan menimbulkan banyak keraguan terhadap keseriusan pemerintah.
Seperti pelarangan penggunaan BBM bersubsidi bagi kendaraan ber-pelat merah, kendaraan dengan CC dan tahun tertentu hingga pemberlakuan RFID.
"Namun, upaya itu terkesan setengah-setengah karena tidak tuntas pelaksanaannya dan pemerintah bersikap seperti pemadam kebakaran yang seharusnya dilakukan secara lebih sistematis lagi," tuturnya.
Untuk itu, Danang berharap, pemerintah bersikap konsisten terhadap pelbagai kebijakan yang berdampak secara langsung terhadap dunia usaha. Dunia usaha juga menjadi bagian yang harus dilindungi pemerintah. Keterlibatan pemangku kepentingan dalam pembuatan kebijakan patut menjadi perhatian.
"Karena dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, kualitas pelayanan publik bias terus meningkat," tukasnya.