REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Tim kuasa hukum pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menyatakan belum mendapatkan daftar bukti dari pembukaan kotak suara oleh jajaran Komisi Pemilihan Umum (KPU). Salah satu kuasa hukum Didi Supriyanto mengungkapkan itu dalam sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden/Wakil Presiden di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (18/8).
Didi menyampaikan kepada majelis hakim konstitusi untuk bisa mendapatkan catatan bukti itu. Ketua majelis hakim Hamdan Zoelva saat itu menanggapi agar tim kuasa hukum Prabowo-Hatta berkoordinasi dengan kepaniteraan MK. Selepas persidangan, Didi menyebut catatan bukti pembukaan kotak suara itu penting. "Kita belum punya daftarnya, makanya kita tanya daftarnya mana," ujar dia, di gedung MK.
Menurut Didi, catatan bukti pembukaan kotak suara oleh KPU itu akan mempunyai pengaruh dan klasifikasi yang berbeda bagi MK. Karena, ia mengatakan, ada bukti yang diambil sebelum ketetapan mahkamah ada juga yang sesudah. Pada sidang 8 Agustus lalu, mahkamah membuat ketetapan yang mengizinkan KPU membuka kotak suara untuk mengambil dokumen yang akan dijadikan sebagai bukti.
Sebelum ada ketetapan itu, KPU sudah mengeluarkan surat edaran untuk pembukaan kotak suara. Mengenai dokumen yang dijadikan sebagai alat bukti sebelum adanya ketetapan, mahkamah akan mempertimbangkannya dalam putusan akhir. Mahkamah pun meminta KPU untuk membuat berita acara pembukaan kotak suara tersebut dan dokumen apa saja yang diambil.
Karena adanya ketetapan dari mahkamah ini, kuasa hukum Prabowo-Hatta meminta KPU agar memberikan berita acara yang sebenarnya. Persoalannya, Didi mengatakan, tim pasangan nomor urut 1 belum tentu mengetahui semua proses pembukaan kotak suara di berbagai wilayah, baik sebelum atau pun sesudah ketetapan mahkamah. "Mudah-mudahan kita harapkan jujur dalam membuat (berita acara) itu," kata dia.
Kuasa hukum Prabowo-Hatta menilai pembukaan kotak suara sebelum adanya ketetapan mahkamah merupakan tindakan ilegal. Didi mengatakan, langkah dari KPU itu sudah melanggaran ketentuan perundang-undangan. Konsekuensinya, menurut dia, bukti yang diambil dari tindakan yang melanggar undang-undang itu menjadi ilegal pula. "Sehingga hasil dokumen yang diambil (sebelum ketetapan mahkamah) pun harus ditolak oleh majelis," kata dia.