Kamis 14 Aug 2014 15:11 WIB

Saksi di Papua Heran di Desanya Tidak Ada TPS

Rep: Irfan Fitrat/ Red: Erik Purnama Putra
Salah satu saksi di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (13/8).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Salah satu saksi di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (13/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saksi pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dari Papua Martinus Adi mempertanyakan proses pemungutan suara di desanya. Ia menyebut tidak ada aktivitas penyelenggaraan Pemilu Presiden/Wakil Presiden di Desa Edarotali, Distrik Tigi Timur, Kabupaten Deiyai, Papua.

Martinus mengungkap itu saat menjadi saksi dalam sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden/Wakil Presiden di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (14/8). "Saya heran kok tanggal 9 (Juli), saya ada di situ, tidak ada satu pun kegiatan," ujarnya di gedung MK.

Merujuk pada pengalaman beberapa pemilu sebelumnya, Martinus mengatakan, biasanya TPS berada di depan halaman sekolah dekat dengan rumahnya. Dia menyebut pada Pemilu 2004 dan 2009, serta Pemilihan Gubernur pun dilakukan di tempat tersebut.

Ia pun sempat menanyakan kepada kakaknya yang merupakan kepala suku. Menurut kakanya, ia mengatakan, tidak ada pemberitahuan dari PPD akan adanya penyelenggaraan pemilu.

Martinus pun mengatakan, tidak ada proses pemungutan suara melalui sistem ikat/noken. Ia menyebut tidak ada kepala suku mengundang untuk berkumpul. Biasanya, menurut dia, masyarakat akan berkumpul mulai dari dua bulan sebelumnya untuk berdiskusi terkait pemilihan ini.

Dalam diskusi itu, menurut dia, semua orang mempunyai hak untuk berbicara sebelum diambil keputusan. "Kemarin di tempat saya tidak ada proses itu terjadi," katanya.

Saat itu, Martinus pun mengaku tidak mendengar adanya pemungutan suara yang ditarik ke tingkat distrik. Ia justru heran ketika mengetahui data saat proses rekapitulasi di tingkat provinsi. Ia mengatakan, ada hasil pemungutan suara di desanya. Padahal, menurut dia, tidak ada pemungutan suara atau pun kesepakatan.

Martinuss mengatakan, pemungutan suara yang dilakukan dengan sistem ikat/noken berujung pada kesepakatan. Menurut dia, apa yang telah disepakati sebelumnya itu tidak dapat dicabut. Ketika keputusan sudah muncul, ia mengatakan, maka itulah hasil akhirnya. "Sepakat itu di musyawarah ada. Sepakat itu kata pilihan hati, karena sepakah itu sekali," kata dia.

Saat jeda sidang, Martinus mengkritisi pemungutan suara yang terjadi di tempatnya. Ia heran ketika pemungutan suara tidak ada, tetapi hasilnya kemudian ada. Menurut dia, ada persoalan pemilu ini yang harus diperbaiki di Papua.

"Kami mau sampaikan, siapa dapat berapa bukan jadi suatu masalah. Masalahnya proses tidak benar ini yang sedang dipelihara. Kalau tidak ada TPS, angka dapat dari mana," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement