REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Proses sidang perselisihan hasil pemilu presiden di Mahkamah Konstitusi (MK), menuntut Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus menambah bukti yang harus dihadirkan ke persidangan. Terakhir, Ketua MK Hamdan Zoelva meminta KPU menyerahkan bukti daftar pemilih tetap (DPT), daftar pemilih tambahan (DPTb), daftar pemilih khusu (DPK), dan daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb) dari seluruh TPS di Indonesia.
Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan, KPU harus bekerja lebih keras. Lantaran bukti dokumen yang disiapkan sebelumnya hanya terkait permohonon yang diajukan pihak pengadu Prabowo-Hatta.
"Sekarang sedang berjalan (pengumpulan bukti), masih banyak yang harus dikejar. Berat sekali pekerjaan itu, siang malam kami bekerja," kata Hadar saat skorsing sidang DKPP, di Aula Kementerian Agama, Jakarta, Kamis (14/8).
Perintah MK, lanjut Hadar, membuat KPU harus membongkar kotak suara di 479.183 TPS di seluruh Indonesia. KPU harus mengumpulkan dokumen terkait jumlah pemilih, daftar hadir pemilih dalam formulir C7, dan keterangan pindah memilih dalam formulir model A5.
Hadar memperkirakan, dokumen yang dikumpulkan jumlahnya sangat banyak. Apa lagi jika semuanya harus dibawa ke Gedung MK di Jakarta. "Kalau dibawa semua mungkin overweight pesawatnya. Dibawa, dileges, belum lagi ada yang harus dibawa dengan kapal laut," ungkap Hadar.
Meskipun pengumpulan dokumen menjadi kewajiban KPU, menurut Hadar, proses penyiapan bukan pekerjaan yang mudah bagi KPU dan jajaran di bawah. Karena pengumpulan harus dilakukan dalam waktu yang singkat.
"Semua Indonesia terkaget-kager, banting tulang siang-malam. Ada yang sudah terkapar," ujar dia.
Karena itu, lanjutnya, KPU juga mengupayakan mengambil sebagian data dari sistem informasi daftar pemilih (sidalih). Seperti DPT dan DPK. Untuk mengantisipasi jika pengumpulan dokumen fisik di Jakarta, tidak semuanya terpenuhi. Jika memang tenggat waktu yang disediakan MK telah habis.
"Kami berusaha seberapa dapatnya saja. DPT dan DPK kami ambil dari Sidalih," jelasnya.
Sebenarnya, Hadar melanjutkan, pengumpulan bukti ini sangat terkait dengan perintah pembukaan kotak suara sebelum sidang dimulai. KPU ingin mengikuti proses persidangan dengan baik. Salah satu caranya, dengan mengupayakan semua bukti bisa disediakan.
"Jadi di sinilah sebenarnya kami ingin kotak dibuka duluan. Ternyata pembukaan kotak yurisprudensinya pernah dilakukan di beberapa pilkada. Bukan karena KPU panik atau ada niatan buruk," ujar dia.