REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nelayan di Muara Angke, Jakarta Utara mengeluhkan pembatasan kuota pembelian solar bersubsidi oleh pemerintah, karena menyebabkan terbatasnya waktu operasional melaut dan mengakibatkan jumlah tangkapan ikan menurun.
"Pembelian solar dibatasi jadi tidak bisa lama-lama di laut, padahal jumlah tangkapan ikan belum sesuai target," kata Jebi, salah sseorang nelayan di Muara Angke, Rabu.
Jebi mengatakan, sebelum kuota pembelian solar untuk kapal bermuatan di bawah 30 gross ton (GT) dibatasi menjadi 20 kilo liter (KL), ia biasa membeli 30 KL solar untuk digunakan melaut selama sekitar 3 bulan. Dalam sekali melaut, ikan yang ia tangkap mencapai 30 ton. Namun jika pasokan solar dibatasi, katanya, otomatis lama waktu di laut menjadi berkurang sehingga hasil tangkapan tidak sesuai harapan.
"Tangkapan ikan bisa menurun hampir 50 persen. Kalau nggak bisa nutup biaya operasional, kapal nggak berangkat," katanya.
Ia khawatir kapal tidak bisa berangkat karena diprediksi tidak mendapat hasil tangkapan ikan yang cukup untuk menutup biaya operasional. Kondisi tersebut menyebabkan anak buah kapal terlantar dan tidak mendapatkan penghasilan.
Ia menambahkan kebijakan tersebut juga membuat sejumlah nelayan membuang banyak waktu mengantre untuk membeli solar, belum lagi solar yang mereka dapat dianggap masih kurang.
"Di laut itu kita monitor lokasi yang banyak ikan, kalau beli solarnya antre ya keduluan nelayan lain," kata nelayan berusia 55 tahun ini.
Ia pun berharap pemerintah mengevaluasi kebijakan tersebut dan lebih berpihak kepada nelayan dengan memberikan akses penuh kepada nelayan sebab solar adalah kebutuhan operasional yang utama.
Karena itu, dia berharap pembatasan BBM tidak berlaku bagi nelayan di daerah itu. "Kalau bisa solar untuk nelayan tetap disubsidi dan tidak dibatasi. Kalau solarnya aja susah, imbasnya ke hasil tangkapan dan harga jual ikan," katanya.