Senin 11 Aug 2014 17:28 WIB

Mengapa Erdogan Terpilih Sebagai Presiden Turki?

Elba Damhuri
Foto: Republika/Daan
Elba Damhuri

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Elba Damhuri

 

Turki memasuki sejarah baru dengan penyelenggaraan pemilihan presiden secara langsung pada Ahad (10/8). Komisi Pemilihan Umum Turki telah mengumumkan Recep Tayyip Erdogan sebagai presiden baru Turki dengan perolehan suara di atas 50 persen.

Sejumlah pengamat dan analis politik Turki sebetulnya tidak heran dengan hasil pilpres ini meskipun Erdogan menghadapi terjangan badai hebat di dalam negeri. Erdogan yang ingin mengubah sistem politik Turki dari parlementer menjadi presidensial menghadapi tantangan keras.

Ini belum termasuk kasus-kasus korupsi yang mendera dia dan para pembantunya. Tapi itu semua tidak menghalangi langkah sang Perdana Menteri Turki itu untuk menggantikan Abdullah Gullen sebagai Presiden Turki.

Sejumlah akademisi Turki menjawab pertanyaan seputar mengapa rakyat Turki memilih Erdogan sebagai presiden dibandingkan kedua pesaing lainnya. "Ada banyak alasan di balik kemenangan satu putaran Erdogan," kata satu akademisi Turki seperti dikutip Aljazeera dan Alarabiya, Senin (11/8).

Alasan-alasan itu, seperti diberitakan Aljazeera dan Alarabiya, antara lain, pertama, Erdogan dinilai sukses mengangkat perekonomian Turki. Ketika krisis ekonomi mendera Turki pada 1990an, negeri itu terpuruk ke dalam jurang kebangkrutan.

Inflasi mencapai dua digit hingga 70 persen, pendapatan rakyat turun, utang luar negeri Turki naik gila-gilaan, mata uang lira tidak ada artinya, pengangguran dan orang miskin bertambah, dan harga diri Turki sebagai bangsa besar hilang. Reformasi ekonomi pun digelar dan Erdogan menjadi pemimpin besar yang telah memperbaiki ekonomi Turki ke jalan lebih makmur.

Alarabiya menulis di zaman Erdogan pendapatan per kapita rakyat Turki naik dari 3.000 dolar AS menjadi 10 ribu dolar AS per tahun. Inflasi kini bertengger di angka satu digit dan utang luar negeri berangsur-angsur turun. pertumbuhan ekonomi pun stabil meski krisis keuangan Eropa mendera.

Erdogan berhasil meningkatkan pendapatan tinggi dari sektor pariwisata, yang hingga 2013 diperkirakan hampir 36 juta wisatawan mendatangi Turki. Sebelumnya, jumlah turis yang berkunjung ke negeri itu hanya 5-6 jutaan per tahun. Ini jauh berbeda dengan kebanyakan negara-negara Eropa yang mencatat kehadiran turis di atas 30 juta per tahun.

Alasan kedua, Alarabiya menulis Erdogan berhasil memainkan peran penting di kawasan dan global, sesuatu yang selama ini dihindari pemimpin Turki sejak revolusi sekularisme bergulir. Kebanyakan rakyat Turki ingin negerinya menjadi pemain aktif di dunia, dan Erdogan mampu mewujudkan itu.

Erdogan terlibat dalam G20, aktif di Timur Tengah sebagai juru damai, memainkan peran sentral di Afrika dan Asia, dan terus memperkuat hubungan setara dengan Eropa. Kini, Turki menjadi salah satu negara berpengaruh pada tingkat global untuk isu-isu regional, termasuk terkait dengan Uni Eropa.

Ketiga, mayoritas rakyat Turki suka dengan gaya Erdogan yang karismatik, reliji, bersahaja, dan berkarakter. Erdogan memahami kesadaran keagamaan di Turki tinggi dan itu dijadikan pijakan dia dalam membuat kebijakan-kebijakan negara.

Dari survei Pew disebutkan, 97 persen rakyat Turki percaya Tuhan dan 67 persen mengatakan kehidupan beragama sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Alarabiya memberi contoh tingginya kesadaran beragama ini dengan mendeskripsikan kehidupan warga Turki yang berlibur di pantai.

Ketika waktu shalat datang, orang-orang Turki menghentikan aktivitas berjemur atau berenangnya dan memilih shalat di mushala. Setelah itu, mereka berjemur lagi. Erdogan menjadi panutan orang-orang ini yang telah menyebarkan nilai-nilai Islam secara kultural.

Erdogan juga bersahaja. PM Turki sebelum-sebelumnya tidak memiliki sikap rendah hati ini. Ia terbiasa blusukan ke kampung-kampung di Turki. Erdogan tidak merasa risih ketika harus duduk di lantai kotor bersama warga miskin Anatoli, serta berbagai roti dengan pekerja kasar di terowongan bawah tanah.

Keempat, Erdogan telah mengangkat kembali harkat dan martabat bangsa Turki di mata dunia, terutama di Eropa. Bukan rahasia lagi jika Turki sejak lama meminta-minta bergabung dengan Uni Eropa, termasuk dengan meminta dukungan sekutu dekat mereka, Amerika Serikat (AS). Tapi upaya itu selalu ditolak dengan berbagai alasan yang makin tidak rasional.

Tapi sekarang, Turki menjadi satu-satunya negara di Eropa yang berdiri tegak di atas lunglainya perekonomian benua biru itu. Turki mencatat pertumbuhan ekonomi meski hanya 2-3 persen sementara negara-negara Eropa lainnya mengalami pertumbuhan negatif alias kontraksi ekonomi.

Kini, Eropa yang meminta bantuan ke Turki untuk membantu mengurangi kemiskinan, pengangguran, hingga menekan defisit neraca pembayaran. Turki bukan tidak punya masalah. Negeri ini masih berkutat dengan masalah defisit transaksi berjalan dan inflasi tergolong tinggi. Namun, krisis ekonomi tidak membuat mereka menjadi negara miskin seperti yang dialami Spanyol atau Prancis.

Satu lagi, para penentang Erdogan menyebut telah terjadi kecurangan dan pemanfaatan fasilitas negara secara masif oleh Erdogan. Tidak heran, kata kaum oposisi ini, jika PM yang telah menjabat untuk periode ketiga kalinya itu mengalahkan lawan-lawannya pada pilpres dalam satu putaran.

Dibandingkan kedua kandidat lainnya, yakni Ekmeleddin Ihsanoglu, mantan sekjen Organisasi Kerja Sama Islam yang dicalonkan partai oposisi; dan Selahattin Demirtas, yang dicalonkan Partai Demokrasi Rakyat (HDP) pro Kurdi; Erdogan relatif lebih sering tampil di televisi. Ia juga memanfaatkan fasilitas negara seperti pesawat dan acara-acara kenegaraan selama berkampanye.

Terlepas dari itu semua, Erdogan telah memenangkan pilpres Turki secara mutlak dengan meraih 53 persen. Kini, masyarakat Turki dan dunia menunggu kebijakan baru sang presiden yang katanya ingin membuang Turki lama yang renta, menuju Turki baru yang progresif dan jauh lebih modern.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement