REPUBLIKA.CO.ID, KLATEN -- Komisi Ombudsman Republik Indonesia perwakilan DIY Jateng terus aktif melakukan koordinasi dengan berbagai pihak. Langkah ini guna menuntaskan persoalan kebijakan pemerintah kabupaten Klaten soal pengenaan seragam batik siswa yang dipersoalkan masyarakat.
Plt Ketua Ombudsman Republik Indonesia (ORI) DIY Jateng, Budhi Masturi, mengaku sudah bertemu dengan Kapolres Klaten, AKBP Nasirwan Adji Wibowo. Ini untuk berkoordinasi dan konsultasi menyangkut aspek pidana kebijakan seragam sekolah.
''Kami berkonsultasi dan mengkaji apa dan bagaimana kemungkinan aspek pidana dari kebijakan pengadaan seragam batik sekolah,'' katanya di Klaten, Kamis (7/8).
Pihak ombudsman menilai, pengadaan seragam batik khas Klaten itu tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010, tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Utamanya, Pasal 181 dan 198. Disebutkan, mulai dari pendidik atau tenaga pendidik, komite sekolah dan dewan pendidikan, baik secara perseorangan atau kolektif, tidak diperbolehkan menjual pakaian seragam ataupun bahan seragam sekolah.
Ombudsman juga akan memverifikasi seluruh Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) di Klaten. Menurut Budhi, Dinas Pendidikan (Disdik) Klaten dan ORI DIY Jateng telah melakukan pertemuan untuk membahas tindak lanjut dan komitmen Disdik Klaten terkait pertemuan mereka sebelumnya, pada 10 Juli 2014 lalu.
''Kami mengecek komitmen dari pemerintah Kabupaten Klaten, terutama Disdik Klaten terkait komitmen mereka pada pertemuan 10 Juli lalu. Hasilnya, Disdik Klaten telah menginventarisasi sekolah-sekolah yang melakukan penjualan dan pungutan seragam batik,'' kata Budhi.
Hasil inventarisasi Disdik Klaten, sambung Budhi, seluruh SMA negeri di Klaten berjumlah 15 sekolah masih melakukan kebijakan penjualan dan pungutan seragam batik. Untuk SMA negeri di Klaten total 15 sekolah, ternyata masih melakukan kebijakan tersebut. Sedang untuk SMP negeri ada lima sekolah. Untuk SMK negeri tidak ada sama sekali.