REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Adanya pembatasan penjualan solar bersubsidi di Jakarta Pusat mulai 1 Agustus, dinilai hanya kamuflase pemerintah.
Ketua pengurus harian YLKI, Tulus Abadi mengatakan jika memang harga BBM perlu naik maka lebih sebaiknya dinaikkan ketimbang penjualannya dibatasi. "Ini hanya kamuflase pemerintah agar disangka populis oleh masyarakat," katanya saat dihubungi Republika Online (ROL), Jumat (1/8).
Pembatasan semacam ini, kata dia, tidak ditemukan di negara-negara lain. "Ini cara yang konyol dan tidak solutif," tambahnya. Menurutnya masalah BBM adalah masalah makro sehingga kebijakan yang diambil juga harusnya bersifat makro.
Penikmat BBM bersubsidi, lanjutnya, kebanyakan berasal dari kalangan mampu. "Tiga puluh juta rakyat miskin Indonesia apakah mereka punya motor apalagi mobil?" tanyanya.
Jika pemerintah berniat menyejahterakan masyarakat kelas bawah maka hendaknya subsidi BBM dipangkas dan dialihkan ke sektor lain yang lebih vital. "Masyarakat miskin problemnya adalah masalah kesehatan, pendidikan, dan pangan," ujar Tulus. Oleh karena itu, ketiga sektor itulah yang perlu disubsidi pemerintah.
Ia menuturkan bahwa masalah subsidi BBM akan menyandera pemerintahan yang baru. Tulus mengatakan, negara-negara luar telah banyak yang mencabut subsidi BBM. "Negara yang surplus minyak masih disubsidi tapi Indonesia sendiri saja masih impor," ujar Tulus.
Tulus menegaskan pemerintah harus lebih memihak rakyat miskin. Jika pemerintah terus berpihak pada masyarakat kaya maka selamanya BBM akan disubsidi.