Jumat 01 Aug 2014 06:00 WIB

Lanskap Baru Kepemimpinan Politik

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

Jokowi adalah Kita. Itulah tagline kampanye Joko Widodo (Jokowi) dalam pemilihan presiden 2014, yang berpasangan dengan M Jusuf Kalla. Sebuah tagline yang sangat mewakili sosok seorang Jokowi. Badan kerempeng, wajah yang orang kebanyakan, dan pembawaan yang sahaja. Jokowi adalah wakil kebanyakan dari penduduk Indonesia. Pembawaannya yang nonformal dan bahasa tubuhnya yang apa adanya.

Jokowi juga mewakili mimpi orang kebanyakan. Ia bukan keturunan keluarga papan atas. Demikian pula istrinya. Garis keluarga pasangan suami-istri itu hingga kini tak bisa ditarik hingga ke raja-raja Jawa ataupun ke para wali, bahkan ke elite Indonesia. Untuk kali pertama pula ia akan menjadi presiden yang bukan orang penting di partai. Bahkan ia belum pernah menjadi pengurus penting di partai, di level manapun. Hal yang tak boleh dilupakan adalah ini kepemimpinan sipil. Di era reformasi ini tiga pemimpin sipil menemui sandungan yang keras. BJ Habibie ditolak pertanggungjawabannya. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) diturunkan di tengah jalan. Megawati Soekarnoputri tak bisa memenangkan pilpres setelah menerima limpahan kekuasaan dari Gus Dur.

Semua fakta itu benar-benar tanpa preseden. Berkah kemerdekaan dan berkah reformasi. Indonesia sedang memasuki zaman baru. Indonesia tak butuh waktu lama untuk menghadirkan sosok pemimpin semacam ini. Hanya butuh 69 tahun sejak kemerdekaan. Bandingkan dengan situasi di Amerika Serikat. Negeri itu lama terjebak pada 'aristokrasi' abad modern. Presiden-presiden negeri itu selalu berasal dari kelas atas. Barack H Obama adalah pemecah telurnya. AS membutuhkan waktu 232 tahun untuk melahirkan pemimpin seperti Obama, yang rakyat kebanyakan, bahkan berayahkan warga negara Kenya.

Jokowi adalah tipikal pemimpin yang gemar mendengar, suka blusukan, tak lelah berdialog, informal, dan suka keluar dari protokoler. Suatu kali, setelah menjadi gubernur DKI Jakarta, ia tiba-tiba nylonong ke Republika. Tanpa memberi tahu siapapun. Ia muncul begitu saja. Oleh resepsionis, ia diminta menunggu di ruang tunggu. Ia duduk di situ. Sendiri. Kisah Jokowi blusukan tentu banyak dialami orang-orang lain. Menyelesaikan penataan kaki lima di Solo dan Tanah Abang, menata permukiman kumuh di pinggir-pinggir sungai, menyelesaikan negosiasi pembebasan lahan untuk jalan tol, dan seterusnya.

Kita, bangsa Indonesia, pernah merasakan gaya informal semacam itu. Yakni saat Jusuf Kalla (JK) menjadi wakil presiden di kepemimpinan SBY yang pertama. Misalnya, seusai melakukan kegiatan tertentu, tiba-tiba mobilnya belok. Ia mengunjungi seseorang, misalnya membezoek orang sakit atau seseorang yang pindah rumah maupun sunatan. Gaya JK dikenal lugas, cepat, dan segera. Paling terasa untuk program konversi minyak tanah ke gas dan pembangunan pembangkit listrik 10 ribu megawatt. JK juga seorang pejabat tinggi yang tetap memegang handphonenya sendiri. Dia akan menjawab telepon maupun SMS sendiri. Kita tak menemukan hal ini pada presiden atau wapres yang lain. Sedangkan Jokowi cenderung sabar dan telaten. Kini JK terpilih lagi menjadi wakil presiden. Kita membayangkan kombinasi dua model kepemimpinan tersebut. Ini akan menghadirkan lanskap baru kepemimpinan nasional.

Namun Jokowi dan JK bukanlah pengendali partai. Padahal dukungan partai sangat penting. Inilah tantangan mereka. Untuk kali pertama, kita akan memiliki presiden dan wakil presiden yang tak mengendalikan kekuatan politik di parlemen. Jokowi harus pandai menata hubungan dengan induknya, PDI Perjuangan. Ia harus cerdik menata relasi dengan faksi-faksi di sana. Pada sisi lain, JK harus mulai membangun kembali kekuatannya di Partai Golkar, yang dalam pilpres lalu partai ini mendukung Prabowo-Hatta. Saat ini partai beringin mulai menghangat. Mulai terjadi tarik menarik kekuatan. Selain itu, Jokowi-JK juga harus membangun hubungan yang tetap solid dengan partai pengusungnya yang lain seperti PKB, Partai Nasdem, Partai Hanura, dan PKPI. Sedangkan sebagian faksi di PPP, yang dalam pilpres mendukung Prabowo-Hatta, mulai merapat untuk bergabung dalam pemerintahan. Yang masih samar adalah sikap PAN, bergabung atau oposisi. Adapun PKS dan Gerindra hampir dipastikan akan menjadi oposisi. Prabowo sendiri masih berjuang keras agar partai-partai pengusungnya tetap dalam satu barisan. Pada sisi lain, ia juga masih berjuang di delapan jalur: MK, KPU, Bawaslu, DKPP, PTUN, Ombudsman, DPR, dan Class Action. Ia masih yakin sebagai pemenang dan ia menuduh pihak lawan melakukan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan massif.

Kita masih menunggu keputusan MK untuk menentukan siapa pemenang sesungguhnya. Apakah MK akan mengukuhkan keputusan KPU yang memenangkan Jokowi-JK atau ada keputusan lain. Dalam dua pilpres sebelumnya, jika jumlah suara yang dipersengketakan tak mungkin mengubah pemenang, maka MK akan menolak gugatan tersebut. Apapun putusannya, efek gugatan ini adalah keinginan untuk meneguhkan deklarasi koalisi permanen. Selain itu, juga membangun sikap oposisi dan kritisisme sejak dini. Pilpres kali ini tak saja menghadirkan persaingan yang panas, tapi juga relatif seimbang dan menghadirkan sedikit perbedaan ideologis. Walau sedikit tapi cukup terasa, yakni soal kemandirian terhadap asing.

Hal-hal itu merupakan bagian dari tantangan lain bagi pemerintahan Jokowi-JK mendatang. Kekuatan pemerintahan mereka terletak pada pesona personal Jokowi dan JK. Itulah yang menghadirkan dukungan massif di hari-hari terakhir. Sebetulnya, tingkat elektabilitas Jokowi-JK sedang menurun, sedangkan elektabilitas Prabowo-Hatta sedang meningkat. Selisihnya sudah di bawah satu persen. Biasanya, trend itu akan berlanjut. Apalagi hari pencoblosan hanya kurang dari sepekan. Namun tiba-tiba terjadi rebound. Para undecided voters, orang-orang yang belum memutuskan pilihan, memberikan suaranya ke Jokowi-JK. Ada sejumlah faktor: konser dua jari, pernyataan Fahri Hamzah soal sinting, dan debat terakhir.

Sampai 20 Oktober nanti, Jokowi-JK akan disibukkan pada urusan komposisi kabinet. Selain-aspek-aspek politis, hal yang harus menjadi pertimbangan utama adalah siapapun yang diangkat menjadi menteri, jangan sampai para menteri itu merusak karakter personal Jokowi dan JK. Karena itulah kemenangan sejati mereka. Kita tak sabar untuk menjadi saksi lanskap kepemimpinan Jokowi-JK. Karena pada akhirnya, yang dicatat sejarah adalah siapa pemimpinnya. Bukan siapa menterinya. Jadilah pemimpin yang menjadi pembeda.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement