REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Inisiatif Joko Widodo (Jokowi) untuk melakukan rekonsiliasi nasional dianggap sebagai langkah positif. Bahkan menjadi penting bagi lanskap politik Indonesia ke depan setelah 22 Juli 2014.
"Ini langkah positif demi mengantisipasi keterbelahan masyarakat. Hawa panas seperti sekarang ini memang harus diredakan. Mulai dari menahan diri untuk tidak 'mengapi-apikan' suasana atas kerja KPU, mengintervensi C1, DA1, DB1, dan lainnya," kata pengamat politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten, Leo Agustino, Jumat (18/7).
Selepas real count KPU, kata dia, sejatinya tidak ada lagi ruang bagi perbedaan yang destruktif. Cara berpikir yang saling menjatuhkan pun harus diubah menjadi saling bahu membahu membangun bangsa dan negara.
"Jangan jadikan energi yang ada di tengah-tengah masyarakat menjadi energi yang negatif. Ini karena masih banyak hal yang harus kita lakukan, terutama untuk menghadapi tantangan zaman ke depan," tutur Leo.
Menurut dia, ketegangan di akar rumput dapat padam jika di level elite bisa diselesaikan. Karenanya, kelapangan hati elite nasional untuk menerima kekalahan dari kandidat lain merupakan solusi bagi penyelesaian ketegangan di tingkat elite tersebut.
"Keberanian berkompetisi dalam pilpres harus juga diimbangi dengan keberanian untuk menerima kekalahan. Dengan cara inilah ketegangan di tingkat grass root bisa disudahi," tukasnya.
Ia menilai, rekonsiliasi nasional bisa menjadi jalan keluar terbaik bagi untuk membangun persatuan dan kesatuan bangsa. Namun, bukan dengan cara bagi-bagi kekuasaan kepada pesaing politik Jokowi-JK.
Jika itu yang terjadi, maka gagasan awal Jokowi-JK untuk membangun pemerintahan yang bersih akan sulit tercipta. Malah mengotori cita-cita awal Jokowi sendiri.