Kamis 17 Jul 2014 16:55 WIB

Eks-Lokalisasi Paling Banyak Penderita HIV/AIDS

Suasana di Gang Dolly Surabaya, Jawa Timur.
Foto: Reuters/Sigit Pamungkas
Suasana di Gang Dolly Surabaya, Jawa Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Dinas Kesehatan Kota Surabaya menyatakan wilayah eks-lokalisasi di daerah itu paling banyak ditempati warga yang terkenena penyakit HIV/AIDS.

Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinkes Kota Surabaya Mira Novia di Surabaya, Kamis mengatakan eks-lokalisasi menjadi kantong-kantong atau sumber kemunculan penyakit HIV/AIDS.

"Data dari Dinkes Kota Surabaya menunjukkan angka kasus HIV/AIDS di beberapa kawasan di Surabaya, seperti Benowo, Krembangan, Pabean Cantikan, Sawahan, dan Wonokromo cukup tinggi," katanya saat menggelar jumpa pers di Humas Pemkot Surabaya.

Sebelumnya, lanjut dia, di kawasan tersebut berdiri lokalisasi atau karena berdekatan dengan lokalisasi. Lokalisasi tersebut kemudian dialihfungsikan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.

"Kasus HIV/AIDS banyak ditemukan di kawasan tersebut dikarenakan dampak dari keberadaan lokalisasi," katanya.

Selain itu, lanjut dia, di kawasan itu juga terdapat "hot spot" seperti tempat hiburan. "Di kawasan lain seperti Gubeng, Sukolilo dan Rungkut juga ada, tetapi tidak sebesar di daerah tersebut," jelasnya.

Ia menjelaskan keberadaan kantong-kantong berupa lokalisasi dan "hot spot" itulah yang membuat angka penderita HIV/AIDS di Surabaya lumayan tinggi. Berdasarkan data Dinkes, selama periode Januari hingga Mei 2014, ditemukan 281 kasus dengan rincian 171 HIV dan 110 AIDS.

Ironisnya, lanjut dia, jumlah penderitanya didominasi oleh mereka yang berusia produktif. Untuk tahun 2013 lalu, di Surabaya ada 754 kasus dengan rincian 501 HIV dan 253 AIDS.

Sementara di tahun 2012, ditemukan 752 kasus dengan rincian 418 kasus HIV dan 334 AIDS. Keberadaan Puskesmas di Surabaya yang dilengkapi Voluntary Counseling Test (VCT) membuat keberadaan penderita HIV/AIDS bisa cepat terdeteksi.

"Dengan lokalisasi di Surabaya sudah ditutup, harapan kami angka ini bisa terus menurun. Sebenarnya warga Surabaya-nya ndak banyak. Yang banyak itu warga dari luar Surabaya. Tapi, untuk penanganannya kan, kita tidak melihat darimana mereka berasal," katanya.

Pemkot Surabaya sudah melakukan upaya proaktif untuk menangani masalah ini. Ketika di Surabaya masih berdiri lokalisasi, Dinkes sudah melakukan upaya penyuluhan kepada para pekerja seks komersial (PSK) maupun warga terdampak. Berawal dari penyuluhan, ada beberapa dari mereka yang kemudian bersedia memeriksakan diri.

Pascapenutupan lokalisasi, Mira mengatakan bahwa Dinkes Kota Surabaya memeriksa 486 orang PSK. Dari jumlah tersebut, sebanyak 45 orang diketahui positif. Tetapi tidak semuanya penderita baru. Sebagian adalah penderita lama. Mereka kebanyakan berasal dari luar kota seperti Bandung, Indramayu, Malang dan Jember.

"Ada wisma yang tidak berkenan (diperiksa) karena beralasan memiliki dokter sendiri," ujarnya.

Untuk penanganan, selain berkoordinasi dengan Dinkes Provinsi Jatim, Dinkes Kota Surabaya juga menyurati Dinkes tempat tinggal para PSK tersebut berdasarkan kartu tanda penduduk (KTP).

Dinkes Kota Surabaya juga bekerja sama dengan lintas sektor untuk memperkuat upaya pencegahan penularan HIV/AIDS. "Kami bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Kota Surabaya untuk melakukan pemeriksaan di tempat-tempat yang berpotensi sebagai tempat transaksi seks. Termasuk juga bekerja sama dengan LSM untuk masuk ke komunitas yang berisiko," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement