Selasa 15 Jul 2014 18:27 WIB

Penetapan Status Konflik tak Bisa Didelegasikan kepada Kepala Daerah

Rep: C75/ Red: Asep K Nur Zaman
Sebuah gambaran konflik sosial (ilustrasi)
Foto: Antara/Rosa Panggabean
Sebuah gambaran konflik sosial (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Penetapan keadaan bahaya tidak dapat didelegasikan kepada kepala daerah. Untuk itu, status keadaan konflik skala kabupaten/kota oleh bupati/wali kota -- yang tercantum dalam Pasal 16 Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (PKS) -- dianggap inkonstitusional.

“Presiden yang harus kembali mengambil alih tanggung jawab atas konflik tersebut dengan otoritas konstitusional yang telah dilekatkan UUD 1945 kepadanya,” ungkap pengamat hukum tata negara Irman Putrasidin, saat menjadi saksi ahli di hadapan majelis hakim Komisi Konstitusi (MK), Selasa (15/7).

MK menggelar sidang kelima pengujian materi pasal 16 dan 26 UU No 7/2012 terhadap UUD 1945, dengan pemohon Imparsial dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Hari ini agendanya mendengarkan keterangan saksi ahli. Selain Irman Putrasidin, pemohon juvga mengajukan Indria Samego, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Dalam sidang yang dipimpin ketua MK Hamdan Zoelva itu, Irman menuturkan jika Polri tidak mampu mengendalikan konflik serta memberikan jaminan keamanan dan ketertiban di tingkat kab/kota, maka penetapan status keadaan konflik solusinya bukan mendelegasikan kewenangan kepada bupati/wali kota. "Ini akan membebankan status keadaan konflik pada mereka," katanya.  

Tetapi, menurut dia, dengan menyandarkan kekuasaan pada presiden maka bisa mengerahkan TNI secara mudah untuk membantu Polri melakukan penanggulangan konflik. “Dengan penetapan status keadaan konflik oleh presiden, konstruksi yang terbangun bukan kepala daerah meminta bantuan penggunaan kekuatan TNI kepada pemerintah (pasal 33 ayat 1 dan 2),” ujar Irman. 

Dia menilai, pasal 16 UU PKS yang inkonstitusional berimplikasi kepada inkonstitusional pasal 17, 18, 19, 23 ayat (1), 24 ayat (1) pasal 26, pasal 28 sepanjang frase “Skala Nasional”. JUga beberapa frasa lain dalam pasal 29, 30, 31, UU PKS, pasal 33 ayat (1) dan (2), pasal 33 ayat (3) sepanjang frasa “skala nasional", pasal 33 ayat (4) sepanjang frasa "bantuan penggunaan”, pasal 34 dan pasal 35 UU PKS sepanjang frasa “bantuan penggunaan”. 

Sebelumnya, kuasa hukum Imparsial dan YLBHI Wahyudi Djafar menilai konflik sosial termasuk dalam keadaan darurat bahaya. Termasuk skala kabupaten/kota seharusnya ditetapkan presiden bukan bupati/wali kota. 

“Pasal 16 dan pasal 26 UU PKS kebablasan dalam pendelegasian kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sehingga bertentangan dengan pasal 18 ayat 5 UUD 1945,” kata Wahyudi.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement