Senin 14 Jul 2014 11:17 WIB

Urgensitas Pembangunan Hutan Kota di Bogor

Suasana Kebun Raya Bogor.
Foto: Republika/Agung Fatma Putra
Suasana Kebun Raya Bogor.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Alex Yungan, S.Hut

Peneliti Carbon and Environmental Research Indonesia

Platform pembangunan Kota Bogor telah diletakkan oleh pasangan Wali Kota Bima Arya dan Wakil Wali Kota Usmar Hariman sebagai kepala daerah. Platform ini akan berlangsung sampai lima tahun mendatang (2014-2019) di Bogor. Salah satu platform pembangunan yang diusung pasangan ini berkaitan dengan isu lingkungan adalah 'Menjadikan Bogor Kota yang Berwawasan Lingkungan'.

Banyak kabar menyebutkan bahwa orang nomor wahid di Bogor itu akan membangun hutan kota untuk menambah Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kota hujan. Pertanyaannya, benarkah kebijakan tersebut memiliki urgensitas tinggi bagi kota Bogor saat ini?

Menakar urgensitas

Ruang Terbuka Hijau (RTH) diatur dalam UU 26/2007 tentang Penataan Ruang. Proporsi RTH ditetapkan sebesar 30 persen dari luas wilayah kota. Pembagiannya yaitu, 20 persen untuk RTH publik dan 10 persen RTH privat.

Di Bogor, pengejawantahan UU 26/2007 tersebut melahirkan Perda 8/2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor 2011-2031. Sama seperti regulasi induknya (UU 26/2007), Perda 8/2011 juga menjelaskan aturan tentang pembangunan RTH di wilayah Bogor.

Saat ini luas hutan kota di Bogor sekitar 147 hektar atau 1,24 persen dari total luas kawasan kota. Terdiri, Kebun Raya Bogor (87 hektare) dan Hutan Penelitian Dramaga (60 hektare).

Rencananya, Pemkot Bogor akan menambah lagi hutan kota di Bogor, luasnya yaitu 2,5 hektare (Perda 8/2011 pasal 47). Regulasi tentang hutan kota diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002. Salah satu tujuan penyelenggaraan hutan kota adalah untuk menjaga keseimbangan ekosistem perkotaan.

Fungsinya untuk memperbaiki dan menjaga iklim mikro. Pertanyaannya, apakah wali kota Bogor benar-benar serius menangani persoalan lingkungan terutama akibat emisi CO2? Data-data berikut mengungkap hal tersebut.

Jumlah kendaraan bermotor di Bogor ternyata terus meningkat dari waktu ke waktu. Contohnya, tahun 2010 jumlah kendaraan bermotor di kawasan ini sebanyak 270.845 unit. Tahun 2012, jumlah kendaraan bermotor meningkat menjadi 310.184 unit. Dalam kurun waktu dua tahun, pertumbuhan kendaraan bermotor naik sebesar 12,7 persen (DLLAJ, 2012).

Artinya, emisi CO2 yang dilepas ke atmosfer juga terus bertambah dari waktu ke waktu. Bertambahnya emisi CO2 yang dilepas ke atmosfer karena peningkatan jumlah kendaraan bermotor ini akan memberikan pengaruh negatif terhadap lingkungan di Bogor.

Berdasarkan jumlah kendaraan bermotor tahun 2012 tersebut dan besaran BBM yang dikonsumsinya, maka jumlah CO2 yang dilepas ke atmosfer sekitar 531.761,1 ton. Pembangunan hutan kota seluas 2,5 hektare tentu berperan sebagai penyerap emisi CO2. Jika hutan kota seluas 2,5 hektare ditanami jenis pohon yang berdaya serap CO2 ekstra tinggi, seperti pohon Trembesi (Dahlan, 2008), maka emisi CO2 yang akan terserap adalah 59.341,3 ton per tahun.

Atau 11,2 persen dari total emisi CO2 yang dihasilkan. Ringkasnya baru pada tahun kesembilan Bogor akan mendapatkan kondisi zero emissions. Itupun kalau konsumsi BBM tetap dan jumlah kendaraan bermotor tidak bertambah pada tahun-tahun berikutnya di Bogor. Tegasnya, selama sembilan tahun mendatang konsumsi BBM di Bogor harus nol.

Akan tetapi, kondisi demikian mustahil terjadi. Karena pertumbuhan kendaraan bermotor dan konsumsi BBM di Bogor jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kegiatan yang dapat menurunkan emisi CO2 dari waktu ke waktu, seperti pembangunan hutan kota.

Meskipun Bogor memiliki dua hutan kota lainnya, seperti Kebun Raya Bogor dan Hutan Penelitian Dramaga, mengandalkan kedua hutan tersebut sebagai fungsi penyerap karbon adalah kesia-siaan dan itu cara pikir yang keliru. Karena dominasi tegakan pohon pada kedua hutan kota tersebut telah melampaui usia produktif sebagai penyerap emisi. Sekarang, fungsi kedua hutan tersebut lebih sebagai penyimpan karbon.

Kritik kebijakan

Sepintas, kebijakan pembangunan hutan kota tampak begitu penting. Padahal jika ditelaah lebih jauh, rencana tersebut belum tentu memiliki urgensitas tinggi bagi Bogor. Hal ini diakibatkan karena para pembuat kebijakan gagal menemukan masalah yang tepat dalam perumusan kebijakan daerah. Berulangkali rencana program aksi yang dikedepankan pemerintah daerah sekedar mengejar target demi 'melunasi' tuntutan UU ataupun PP.

Seperti harus lunasnya target minimun 30 persen pembangunan RTH dan 10 persen luas minimum pembangunan hutan kota di wilayah perkotaan. Pemerintah kita terus memandang persoalan hanya dari segi bio-fisik semata dan belum holistik.

Ada fakta menarik untuk mengkritik kebijakan tersebut. Jumlah penduduk miskin di Bogor ternyata tergolong tinggi. Data BPS Kota Bogor (2013) mengungkap bahwa, jumlah penduduk miskin di kota Bogor berjumlah 90.200 orang atau 9 persen dari total penduduk Bogor. Selain itu, laju urbanisasi di Bogor juga cukup tinggi, yaitu 8,8 persen.

Menekan penduduk desa agar tidak pindah ke kota dengan cara mengejar 'pelunasan' RTH adalah cara pikir yang keliru. Termasuk membebaskan lahan melalui program land banking demi pembangunan RTH. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah selalu punya nyali besar untuk 'berkelahi' dengan rakyatnya sendiri tetapi tidak untuk melindungi mereka.

Sebagai manusia yang waras, mengejar taraf kesejahteraan hidup adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat dinafikan. Termasuk bagi penduduk desa yang ingin pindah ke kota. Karena peluang dan kesempatan untuk dapat hidup lebih sejahtera tersedia lebih besar di kota dibandingkan di desa. Dalam hal ini, Pemkot Bogor telah gagal membuat desa menjadi tempat tinggal yang nyaman dan dapat menunjang kegiatan ekonomi penduduk pedesaan sehingga mereka tidak perlu pindah ke kota.

Jika wali kota Bogor benar-benar serius ingin  menangani persoalan lingkungan terutama mengurangi emisi CO2 di daerahnya, sebenarnya dia dapat meniru kebijakan yang telah dilakukan oleh gubernur DKI Jakarta, dengan menolak subsidi BBM bagi  Bogor. Karena dengan merelakan harga BBM berada pada nilai terbaiknya, hal tersebut akan menurunkan konsumsi masyarakat terhadap BBM. Sehingga, emisi CO2 yang dilepas ke atmosfer dapat berkurang.

Kemudian anggaran tersebut digunakan untuk kegiatan produktif lainnya seperti membangun jalan raya hingga ke pelosok-pelosok desa. Dengan demikian desa akan menjadi tempat tinggal yang nyaman sehingga laju urbanisasi akan hilang dengan sendirinya. Aktivitas ekonomi akan berjalan tanpa hambatan sehingga dapat memenuhi taraf kesejahteraan penduduknya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement