REPUBLIKA.CO.ID, PANDEGLANG -- Musim kemarau tahun 2014 yang diprediksi akan berlangsung panjang dan lebih kering tidak membuat petani khawatir, terutama yang selama ini menggeluti usaha budidaya sayuran untuk memproduksi benih.
"Saat kemarau tiba, produksi padi kurang menguntungkan. Menanam semangka, paria, timun, dan bayam untuk dipanen benihnya tidak membutuhkan banyak air. Hasilnya pun jauh lebih besar," ujar Saikad, Ketua Kelompok Tani Tunas Mulya, Pandeglang - Banten, Ahad.
Petani berusia 47 tahun ini menjelaskan, sebagai gambaran untuk bercocok tanam padi di atas lahan seluas satu hektar penghasilan yang diraih sekitar Rp27 juta dari hasil dua kali panen. Sementara, dengan bercocok tanam sayuran di atas lahan yang sama penghasilan yang didapat bisa mencapai hampir empat kali lipat atau sekitar Rp88,5 juta.
Buat Saikad dan 180 anggota kelompok tani Tunas Mulya, harga jual produk sayuran bukan menjadi persoalan. Sebab, mereka bekerja sama dengan perusahaan benih yang siap membeli semua hasil panen dengan harga yang telah diperjanjikan sebelumnya.
"Melalui kerjasama seperti ini petani menjadi lebih berkonsentrasi untuk merawat dan menghasilkan panen yang bagus karena kami tahu hasil panen nanti akan bisa dijual dengan harga berapa," tutur Saikad.
Petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Tunas Mulya mulai melakukan budidaya sayuran sejak awal 2003 silam.
Ketika itu, Saikad yang dikenal oleh masyarakat sebagai "Jawara" bertemu dengan petugas lapangan perusahaan benih unggul sayuran PT East West Seed Indonesia (Ewindo).
Awalnya banyak yang tidak percaya kerjasama ini akan menguntungkan. Kami sebelumnya hanya mengandalkan penghasilan dari menanam padi, kenang Saikad.
Keinginan mengubah nasib membuat pihaknya menerima tawaran kerjasama. Awalnya, butuh waktu tiga bulan buat Saikad untuk belajar menanam, mengawinkan bunga jantan dan betina, memelihara buah serta memanen hasil tanaman.
Kerja kerasnya membuahkan hasil. Tanaman kacang panjang yang dia budidayakan berbuah lebat dan memberikan keuntungan yang berlipat dibandingkan bertani padi.
Setelah kacang panjang saya belajar menanam dan mengawinkan semangka, paria, timun, dan bayam. Ada beberapa kali gagal, tetapi sebagian besar berhasil," katanya.
Menurut dia, syarat untuk menjadi petani binaan Ewindo juga tidak terlalu sulit. Hal yang terpenting adalah memiliki pengalaman bercocok tanam, serta mengikuti semua bimbingan yang diberikan dari petugas penyuluh lapangan yang hadir secara berkala untuk memantau produksi petani.
Petugas lapangan Ewindo, Suroso menjelaskan, perusahaannya memang mengharuskan pendampingan dan pembinaan secara intensif kepada petani.
Perusahaan juga memastikan kesiapan lahan serta kondisi tanah termasuk kesiapan dari petaninya sendiri. Hal-hal tersebut untuk menjaga kualitas produksi yang dihasilkan.
"Terkadang kami setiap hari harus mendampingi petani untuk memastikan proses perkawinan/penyilangan tanaman dilakukan dengan baik sehingga hasil panen optimal," kata Suroso.
Keberhasilkan Saikad inilah yang kemudian diikuti oleh petani di desanya dan desa-desa sekitar dia tinggal.
Total penghasilan rata-rata per tahun kelompok tani yang dia pimpin bisa mencapai lebih dari Rp1 miliar. Sementara tenaga kerja yang terlibat hampir 1.260 orang karena setiap petani dari total 180 petani anggota kelompoknya mempekerjakan sekitar tujuh orang.
Saikad mengatakan, bercocok tanam sayuran saat ini menjadi salah satu tulang punggung penghasilan petani di daerahnya. Namun, petani tetap menanam padi untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehingga tidak perlu membeli beras.
Karena itu, kebutuhan akan lahan pertanian di daerah Pandeglang saat ini sangat tinggi. "Tidak ada lagi lahan tidur. Kalau ada lahan menganggur pasti akan disewa oleh petani untuk menanam sayuran. Ini pun sekarang mulai sulit mencarinya," katanya.