REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Selama musim kampanye Pemilu 2014, banyak beredar hasil survei di kalangan masyarakat. Bahkan, tak jarang, hasil survei satu lembaga dengan lembaga lainnya sangat jauh berbeda hasilnya. Mencuatnya dugaan adanya hasil survei pesanan pun tak terhindarkan.
Ketua Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepsi) Nico Harjanto mengatakan, untuk memagari objektifitas survei maka yang perlu didorong ke depan adalah aspek etika bagi lembaga survei. Aspek etika itu diharapkan dapat menghindari adanya manipulasi hasil survei untuk kepentingan tertentu atau pesanan tertentu.
“Yang efektif membatasi itu bukan aturan-aturan tertulis, tapi etika. Nah, yang bisa ngerem niatan jahat itu adalah etika,” kata Nico dalam diskusi bersama media di Jakarta, Selasa (8/7) malam WIB.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI) Burhanuddin Muhtadi mengatakan, salah satu kasus hasil survei yang ekstrem menjelang Pemilu 2014, adalah hasil poling 19 lembaga survei yang memenangkan pasangan tertentu. Padahal, hasil survei yang dilakukan sejumlah lembaga survei yang berada di bawah payung Persepi, hingga saat ini belum menemukan hasil seperti itu.
Untuk menguji benar tidaknya metodologi yang digunakan ke-19 lembaga survei tersebut, Burhanuddin mengaku, memang agak sulit membuktikannya. Pasalnya, mereka tidak menjadi anggota Persepi maupun Asosiasi Riset Opini Publik (Aropi), sehingga tidak dapat diuji tingkat validitas yang diumumkan ke publik.
Sementara, Saiful Mujani dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menegaskan, amatlah salah apabila ada pendapat yang menyatakan bahwa hasil survei dapat memengaruhi sikap pemilih.
Hal itu sudah dibuktikan melalui hasil Pileg 9 April lalu, di mana hasil survei yang menyatakan PDIP bakal meraih suara di atas 27 persen ternyata jauh bertolak belakang. “Jadi, sebetulnya kita (polster) tidak bisa pengaruhi pemilih secara langsung, kecuali mau main-main dan berbohong, itu sudah terbukti,” ujarnya. (*)
Pakar psikologi politik UI Hamdi Muluk mengusulkan, untuk menghindari berkembangnya hasil survei abal-abalpesanan, maka ke depan perlu adanya standardidasi bagi lembaga survei. Di antaranya, standardidasi metodologi survei, standardidasi sampling, dan metode lainnya.