Kamis 03 Jul 2014 17:33 WIB

Pers Pun Ikut Terbelah

Arif Supriyono
Foto: Dokpri
Arif Supriyono

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono

Gelombang pesta pemilihan presiden tanggal 9 Juli 2014 ini ikut memecah arus deras media massa. Sebagian memberikan dukungan pada kandidat Prabowo Subianto-M Hatta Rajasa dan sebagian lainnya menyokong kubu Joko Widodo-M Jusuf Kalla.

Memang tak semua media massa mengikuti arah polarisasi yang membentuk dua kutub. Beberapa media tetap bergeming dan tak terpengaruh hiruk-pikuk pemihakan pada salah satu kubu.

Situasi ini sebenarnya telah diawali oleh pelaksanaan pemilihan umum legislatif pada 9 April lalu. Kala itu, lantaran keterlibatan beberapa tokoh pemilik media yang menjadi petinggi partai politik, maka pemberitaan media tersebut tentu saja akan segaris dengan aktivitas partai yang mendukungnya.

Sejalan dengan dukungan para petinggi dan partainya terhadap kedua calon presiden-wakil presiden, maka media pun mengikuti arah yang ditempuh sang pemiliknya. Media cetak yang secara tegas memberi dukungan pada Prabowo-Hatta adalah Seputar Indonesia.  Ini seirama dengan sikap pemiliknya, Hary Tanoesoedibjo, yang mendukung Prabowo-Hatta, seiring pecah kongsinya dengan Wiranto dan Partai Hanura.

Jokowi-Kalla mendapat sokongan kuat dari Media Indonesia dan Tempo. Pemilik MI yang juga ketua umum Partai Nasdem, Surya Paloh, membuat garis kebijakan untuk mendukung Jokowi. Sedangkan pemberitaan Tempo (termasuk majalahnya) sangat terlihat bersimpati  pada Jokowi-Kalla. Sikap ini juga sama dan sebangun dengan pemihakan yang dilakukan oleh pemilik dan pendiri Tempo, Goenawan Mohamad.

Kompas juga terlihat lebih condong ke Jokowi-Kalla. Koran ini lebih banyak memberi porsi positif pada Jokowi-Kalla. Bedanya, Kompas tak sefrontal MI dan Tempo dalam mengemas berita dukungannya.

Republika berupaya sekuat tenaga untuk menerapkan prinsip pemberitaan berimbang. Sebaliknya, di media televisi, Prabowo-Hatta lebih banyak mendapat dukungan. Di belakang mereka ada MNC Group (tiga stasiun televisi --MNC TV, Global TV, dan RCTI-- milik Hary Tanoe), TVOne, dan Antv. Kedua media televisi terakhir ini merupakan milik  pengusaha Aburizal Bakrie, mantan capres yang juga ketua umum Partai Golkar.

Adapun Jokowi-Kalla sepenuhnya mendapat suplai gizi dari Metro TV yang satu grup dengan MI. Stasiun teve lain mungkin saja masih ada yang memberi dukungan pada satu di antara dua kandidat tersebut meski tak secara tegas memihak sang calon.

Kondisi serupa terjadi pada media daring (online). Karena umumnya pemilik media cetak atau televisi juga punya jaringan radio dan portal berita, maka secara otomatis kebijakan pemberitaan mereka tak jauh berbeda dengan induknya. Kita bisa mengamati hal ini pada okezone.com (MNC Group), vivanews.co.id, republika.co.id, tempo.co, metrotvnews.com, dan kompas.com.

Detikcom yang milik konglomerat dan sekarang Menko Perekonomian, Chairul Tanjung, hampir setiap hari memberitakan kiprah Jokowi, tak peduli itu peristiwa yang remeh-temeh atau penting, saat menjabat gubernur Jakarta. Kini detikcom masih terlihat lebih banyak memberi porsi pada Jokowi-Kalla walau juga membuka diri terhadap berita-berita dari sudut seberang, yakni kubu Prabowo-Hatta.

Hal sama juga terjadi pada media daring baru, yaitu merdeka.com. Portal berita baru yang cukup berpengaruh dan milik pengusaha muda Steve Christian ini semula berita-beritanya memberikan dukungan kuat bagi Jokowi. Walau bobot dukungan ke Jokowi masih tetap, tapi kini portal berita tersebut juga memberikan tempat buat poros Prabowo-Hatta.Polarisisasi yang membelah media ini sempat ramai oleh beredarnya tabloid abal-abal Obor Rakyat. Media yang berisi caci-maki dan fitnah pada Jokowi ini dikelola oleh Setiyardi Budiono (mantan wartawan Tempo) dan Darmawan Sepriyossa  (mantan wartawan Republika, Tempo, Panjimas, dan Suara Karya).

Saat aparat sedang memproses tabloid Obor Rakyat atas laporan tim pendukung Jokowi, muncul pula tabloid Obor Rahmatan Lil Alamin. Tabloid ini digagas oleh tokoh pers Dahlan Iskan (menteri negara BUMN, pemilik Jawa Pos Group, mantan capres konvensi Partai Demokrat yang kebetulan juga mantan wartawan Tempo).  Tabloid Obor yang kedua ini berisi puja-puji pada Jokowi dan kemudian sempat diprotes oleh ketua Majelis Ulama Indonesia, KH Ma’ruf Amin, karena mencatut namanya tanpa konfirmasi. Tokoh Nahdlatul Ulama, Salahudin Wahid, pun merasa namanya dicatut di tabloid ini.  

Apa pun bentuknya, pemihakan media terhadap kepentingan politik bukanlah barang baru. Sejak dulu beberapa partai politik memiliki media pendukung. Di zaman Orde Baru pun demikian.

Kita mengenal surat kabar Merdeka yang menjadi corong yang nyaring bagi Partai Demokrasi Indonesia. Ada pula Pelita yang suaranya sempat mengalir deras ke Partai Persatuan Pembangunan (sebelum masuknya Abdul Gafur/mantan menpora) dan Suara Karya yang menjadi penyambung lidah Partai Golkar.

Kondisi ini membuat semua pihak akan menanyakan, lantas bagaimana dengan independensi pers? Sebuah pertanyaan yang teramat mudah untuk dijawab namun betapa sulit untuk dijalankan. Padahal, Kode Etik Jurnalistik kita sangat jelas menyebutkan, bahwa wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tak beriktikad buruk. Faktanya, independensi itu kini menjadi barang mewah dan mahal.

Dalam Undang-Undang Pers pasal 6 (e) pun menyebutkan, bahwa pers nasional memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Namun, tafsir kebenaran itu sepenuhnya menjadi milik pengelola media.

Dari rangkaian peristiwa ini sepertinya layak menjadi renungan bersama bagi insan pers. Sejauh mana kita telah menerobos sekat dan koridor yang kita buat sendiri atau semua kita serahkan pada persepsi masing-masing. Apa pun hasilnya nanti, kita tentu berharap agar pers tak semakin membuat masyarakat terpolarisasi menjadi dua kutub.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement