Rabu 02 Jul 2014 06:00 WIB

Belajar Puas dengan Puasa

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif

Hal yang tersulit melewati ujian hidup itu bukanlah mengejar sukses manusia sebagai individu, melainkan sukses manusia sebagai masyarakat. Kumpulan individu sukses belum tentu melahirkan masyarakat yang sukses karena masyarakat sebagai suatu entitas kolektif lebih dari total penjumlahan orang per orang.

Sukses masyarakat memerlukan penyatuan dan koherensi sukses individu ke dalam cita-cita, konsepsi, pranata, gerak, dan maslahat kebersamaan. Demi sukses masyarakat, individu sukses pada suatu bidang dituntut menahan diri dan tidak mengambil peran yang menghambat sukses masyarakat.

Pengusaha sukses belum tentu bisa menjadi pemimpin politik yang sukses. Dalam memimpin perusahaan, sukses seseorang diukur dari keberhasilan memperjuangkan kepentingan-keuntungan perusahaannya. Dalam politik, sukses seseorang diukur dari keberhasilannya memperjuangkan kepentingan-keuntungan rakyat, menuntut pengorbanan kepentingan perusahaannya.

Dalam memimpin perusahaan, kesuksesan diraih dengan kecerdikan menginvestasikan uang. Dalam politik, sukses masyarakat justru memerlukan batas moral penetrasi uang. Tidak semua bisa dibeli dengan uang.

Partai politik sebagai wahana perjuangan aspirasi kolektif yang tunduk pada kendali kolektif tidak boleh direbut dan dikendalikan uang. Pilihan politik sebagai hak dan kewajiban warga negara tidak dianggap private propery yang diperjualbelikan, tapi sesuatu yang dipertanggungjawabkan pada kebajikan kolektif.

Demi sukses masyarakat, orang sukses di berbagai bidang memerlukan satu modal untuk terjun ke dalam kepemimpinan politik: pengalaman terlibat dalam urusan umum-melalui gagasan dan tindakan-serta kemampuan menaruh rakyat di hatinya.

Seorang taikun, artis terkenal, atau lulusan terbaik universitas luar negeri tidak serta-merta pantas memimpin politik, tanpa kecukupan jam terbang dalam urusan kebangsaan. Dalam kehidupan kebangsaan yang ditandai pelebaran kesenjangan sosial serta pembiaran gelembung kemiskinan, orang dari menara gading kemewahan-yang tidak bisa merasakan penderitaan rakyat-tidak layak memimpin negeri ini.

Pemihakan terhadap urusan umum dan rakyat kecil itu penting karena demokrasi pada kenyataannya bukanlah pilihan bebas, melainkan pilihan kepentingan, terutama kepentingan kekuatan adidaya, baik berupa kekuatan ashabiyah (fundamentalisme komunal) maupun kekuatan korporasi (fundamentalisme pasar).

Alhasil, ada risiko yang dipertaruhkan dalam kesalahan memilih pemimpin politik, yakni tergencetnya kepentingan umum dan rakyat kecil (demos) oleh fundamentalisme komunal dan pasar. Wacana umum pemilihan pemimpin politik di negeri ini mengalami sesat pikir ketika dasar ontologis mengusung kandidat hanya berjejak pada popularitas dan ketebalan uang.

Kita tidak pernah melanjutkan pencarian dengan mempertanyakan secara kritis, apakah orang populer dan berkantong tebal itu punya rekam jejak dalam menyayangi dan melindungi kepentingan demos sebagai ibu demokrasi. Sementara, kita terus mengeluhkan ketercemaran aliran politik di hilir, tetap menebarkan racun di hulu, dengan membiarkan kesesatan menentukan kandidat pemimpin.

Dalam memilih pemimpin politik, kita mengingat pesan Bung Hatta, “Indonesia, luas tanahnya, besar daerahnya, dan tersebar letaknya. Pemerintahan negara yang semacam itu diselenggarakan mereka yang mempunyai tanggung jawab yang dan pandangan yang amat luas. Rasa tanggung jawab hidup dalam dada, jika sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa. Untuk mendapat rasa tanggung jawab besar, kita mendidik diri dengan rasa cinta akan kebenaran dan keadilan yang abadi. Hati penuh dengan cita-cita besar, lebih besar, dan lebih lama umurnya daripada kita sendiri.”

Mempertanggungjawabkan kekuasaan bagi kebesaran dan keluasan Indonesia itu berat, kecuali bagi mereka yang tidak takut kehilangan apa pun selain kebenaran dan keadilan. Agar bisa memuaskan kepentingan orang banyak, seorang calon pemimpin bisa berpuasa (menahan diri) dari godaan nafsu “al-takâstur” (menimbun dan menguasai) yang tak ada habisnya hingga masuk liang lahat.

Tanpa kemampuan berpuasa, orang yang memburu kekuasaan karena tidak merasa puas dengan apa yang diperolehnya tidak memiliki kelapangan jiwa untuk melayani rakyatnya. Sebaliknya, menjadikan perut mereka sebagai kuburan bagi rakyatnya.

Bagi para pemimpin sejati, kebahagiaan tertinggi itu tidaklah terletak pada pemuasan “the will to pleasure” (hasrat kesenangan) atau “the will to power” (hasrat kekuasaan), tetapi pada “the will to meanin” (hasrat meraih makna esensial) sebagai hamba Tuhan yang bisa membebaskan beban derita yang memasung kehidupan orang-orang yang terempas dan terputus.

Seperti diingatkan oleh Bung Karno, “Orang tidak mengabdi kepada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia. Tuhan bersemayam di gubuknya si miskin.” Mari belajar puas atas karunia yang diperoleh dan memuaskan orang lain lewat pelayanan yang tulus dengan puasa sejati!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement