Senin 30 Jun 2014 17:36 WIB

Melihat Indonesia lewat Televisi di Rumah Kita

Muhammad Akbar
Foto: doc pribadi
Muhammad Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Muhammad Akbar

 

Usianya baru 5,5 tahun. Jika tak salah, bocah itu bernama Musa. Ia masih belum bisa membaca Alquran tetapi sudah mampu menghafalkan beberapa juz dari kitab suci umat Islam. Ketika bocah itu dengan fasih melantunkan surat Muhammad, air mata sejumlah orang yang mendengarnya langsung mengalir.

Prof Dr Amir Faishol Fath adalah salah satunya. Ia adalah juri dari penampilan Musa di program Hafiz Indonesia yang tayang di RCTI pada Ahad (29/6) sore. Rupanya, tak hanya ustaz Amir saja yang menangis. Ketika kamera diarahkan ke bangku penonton, terlihat juga wajah-wajah kaum perempuan berhijab yang menangis. Tentunya, ketika melihat tangisan itu jangan pernah asumsikan pada hal kesedihan semata.

Yakinlah, air mata itu mengalir karena ada rasa bangga sekaligus haru ketika menyaksikan seorang bocah begitu fasih melantunkan ayat suci Alquran. Hadirnya sosok Musa ini bagaikan sebuah oase program televisi di negeri yang berpenduduk mayoritas muslim ini.

Selayaknya oase, Musa dan tayangan Hafiz Indonesia ini telah memperlihatkan bahwa masih ada anak-anak negeri ini yang masih istiqomah menjadi penghafal Alquran. Hadirnya Musa seperti memercikan warna khas di tengah bingkai pemberitaan tentang pencabulan atau praktek kekerasan seksual yang melanda anak-anak di negeri ini.

Lalu secara bombastis, bolehlah untuk menyebut tayangan semacam ini seperti 'pencuci dosa' bagi para pengelola televisi. Mengapa? Karena nyaris sebagian besar pengelola stasiun televisi negeri ini lebih suka menyodorkan tayangan-tayangan yang menjajakan hedonisme dan konsumerisme. Lewat tayangan semacam itulah, deretan iklan mengantre yang pada akhirnya menjadi nafas bagi kehidupan industri televisi kita.

Lantas tanpa hendak memuji secara hiperbolik, tayangan semacam ini sesungguhnya amat penting untuk mewujudkan harapan Indonesia menjadi lebih baik. Mengharapkan hadirnya sebuah Indonesia bermartabat dan berakhlak rasanya tak lagi menjadi sebuah jargon.

Sayangnya, ketika di layar kaca kita terlalu sering disesaki oleh banyak janji manis para calon presiden dan wakil presiden, tayangan semacam ini justru masih saja terpinggirkan. Bahkan oleh kita sendiri!

Untuk mengukurnya sederhana saja. Tengoklah sosial media. Maaf, indikator ini memang terlalu dini untuk menarik kesimpulan yang sahih. Tapi inilah salah satu parameter paling mudah untuk melihat bagaimana tayangan positif semacam Hafiz Indonesia ini masih kalah populer dibandingkan pembicaraan seputar pemilihan presiden lewat program debat calon presiden dan wakil presidennya.

Hanya berselang beberapa jam saja, fakta telah memperlihatkannya. Nyaris, tak begitu banyak cuitan di Twitterland maupun status Facebook yang mengulas penampilan Musa dkk.

Kaum melek teknologi -- yang menjadi representasi dari kelompok menengah dan perubahan, justru lebih senang mengumbar cuitan dan statusnya untuk membahas penampilan pasangan calon wakil presiden. Sayangnya, cuitan dan status di sosial media itu lebih banyak mengumbar sikap paling unggul. Terkadang, banyak juga yang secara terbuka menguarkan ejekan dan hinaan.

Ah, kita seperti sudah lupa kalau Ramadhan ini sesungguhnya bulan penuh berkah dan kebaikan. Utamanya, bagi umat muslim negeri ini. Di sinilah sesungguhnya kita distimulasi untuk lebih memperbaiki diri. Sayangnya, kita memang lebih suka alpa untuk melihat ke dalam. Seperti pepatah bijak, Gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan terlihat.

Begitulah kondisi sebagian anak negeri kita sekarang. Ketika yang baik saja teracuhkan, akankah kita bisa melihat Indonesia mendatang bisa benar-benar menjadi lebih baik? Semoga, asumsi yang saya tuliskan ini hanyalah premis yang keliru. Saya, Anda dan kita semua, tentunya ingin melihat Indonesia yang lebih baik. Dan itu sebenarnya sudah diawali oleh Musa yang masih berusia balita.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement