REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ilmuwan mengungkapkan kerusakan hutan perawan di Indonesia sudah mencapai 60 ribu kilometer persegi dari tahun 2000-2012, hampir seluas Irlandia. Kerusakan ini diikuti dengan laju kerugian yang terus meningkat. Padahal ditahun 2011 pemerintah Indonesia menyepakati moratorium demi melindungi satwa liar dan memerangi perubahan iklim.
Kebanyakan lahan dipakai untuk membuka perkebunan kelapa sawit baru dan lahan pertanian lainnya. "Pada 2012, kehilangan hutan primer tahunan di Indonesia diperkirakan lebih tinggi daripada di . Brasil. Di mana izin dari lembah Amazo biasanya menyumbang kerugian terbesar,” ujar para ilmuwan dalam jurnal Nature Climate Change yang dilansir CBC, Senin (30/6).
Di tahun 2012 deforestasi di Indonesia saja sudah mencapai 8.400 kilometer persegi. “Kita perlu meningkatkan penegakan hukum, kontrol di daerah tersebut,” ujar Belinda Margono, penulis utama dari studi University of Maryland yang juga berprofesi sebagai pejabat di kementerian kehutanan Indonesia.
"Hutan tropis adalah paru-paru planet ini. Anda memiliki paru-paru untuk bernapas dan jika Anda menyingkirkan paru-paru, planet akan menderita," kata Matthew Hansen, penulis pendamping laporan di University of Maryland.
Selain memberlakukan moratorium penebangan hutan, Indonesia juga menjalin kerja sama dengan pemerintah Norwegia untuk mengatasi masalah ini. Norwegia berjanji menyumbang Rp 1 miliar dolar kepada Jakarta jika berhasil memperlambat hilangnya hutan. Kesepakatan ini merupakan bagian dari rencana untuk memperlambat perubahan iklim diseluruh dunia.
“Kemitraan ini merupakan insentif keuangan yang kuat,” ujar juru bicara kementerian lingkungan Norwegia, Gunhild Oland Santos-Nedrelid dalam sebuah email.
Nedrelid melanjutkan hilangnya hutan di Indonesia bisa meningkatkan dalam beberapa bulan mendatang dan beresiko pada peningkatan kebakaran akibat kekerigan.
Sejauh ini, katanya, Norwegia sudah membayar hampir 50 juta dolar ke Indonesia untuk membantu mendirikan lembaga baru demi mengurangi deforestasi.
Selain Indonesia, proyek serupa juga dilakukan Norwegia dengan Brasil dan program lainnya yang lebih kecil di negara lain, termasuk Guyana dan Tanzania.