REPUBLIKA.CO.ID, TERNATE -- Aliansi Masyarakat Pemerhati Adat (AMPA) Moloku Kie Raha, meminta, Kementerian ESDM agar memperhatikan masyarakat adat wilayah operasi perusahan tambang yang tersebar di Maluku Utara (Malut).
Koordinator AMPA Malut, Nuryadin Rahman di Ternate, mengatakan, selama ini, dana kompensasi yang diberikan perusahaan tambang kepada pemerintah daerah, tidak diteruskan ke masyarakat adat setempat.
Seperti daerah Halteng yang didiami Suku Sawai wilayah Kobe pedalaman. Di sekitar perkampungan Suku Sawai ini, lokasi beroperasinya perusahan WBN, namun kondisi masyarakat di sana (Kobe) sangat tidak layak.
"Rumah mereka tidak layak dihuni dan pemerintah daerah terkesan mendiamkan kondisi ini," ujarnya, Jumat (27/6).
Dia menyayangkan sikap perusahaan dan pemerintah, pusat maupun daerah, karena tidak memperhatikan kehidupan masyarakat setempat.
"Padahal hasil yang diambil dari kawasan ini sangat besar dan tidak ada kontribusi bagi masyarakat adat di kawasan itu," ujarnya.
Dia mengemukakan, selain Kobe, kondisi serupa juga terlihat di Buli, Kabupaten Halmahera Timur. Dari hasil tinjauan AMPA, masyarakat pedalaman di kawasan eksploitasi ini sangat termarginalkan.
"Ini juga harus menjadi perhatian pusat, karena masyarakat di sekitar tambang tidak memperoleh penghidupan yang layak. Hasil eksploitasi tambang bisa mencapai Rp15 triliun, namun masyarakat adat tetap melarat," katanya.
Ia mengimbau kepada pihak perusahan maupun pemerintah pusat dan daerah agar lebih memperhatikan masyarakat adat tersebut. Karena peran empat kerajaan di Moloku Kie Raha dalam memperjuangkan kemerdekaan RI ini sudah harus diberi perhatian sebagai masyarakat berkewarganegaraan Indonesia.
"Kami mengajak empat Sultan untuk bersama-sama dengan AMPA dan bala adat dengan terus memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, serta meminta pemerintah pusat untuk segera mengesahkan undang-undang perlindungan dan pengakuan ke masyarakat adat, sehingga kehidupan masyarakat adat di Moloku Kie Raha, lebih layak," katanya.