REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Pengamat Tata Negara, Margarito Kamis mengatakan sedikitnya jumlah perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK) tak lain karena keterangan saksi dan alat bukti tidak cukup kuat.
Padahal dalam persidangan, keterangan dari pihak termohon yakni KPU mengakui adanya kekeliruan dalam perhitungan suara. Sayangnya, MK tidak bisa mendalami perkara dalam waktu pendek yang diberikan.
“KPU sudah mengakui ada kekeliruan yang dilakukannya, tapi MK mengabaikan itu dan menganggap tidak cukup bukti untuk menguatkan bahwa adanya kekeliruan dan kesalahan yang dilakukan pihak penyelenggara,” ujar Margarito Kamis, Jumat (27/6).
Terpisah, kuasa hukum Partai Demokrat, Bastian Noor Pribadi mengatakan pihaknya kesulitan mendapatkan alat bukti PHPU. Selain itu, pembatasan saksi pun membuat pihaknya sulit membuktikan dalil permohonannya.
“Bukan hanya Demokrat saja, tapi semua parpol dibatasi saksi dan sulitnya bukti tertulis. Itu yang menyebabkan kita ditolak,” katanya.
Ia menilai ada beberapa pertimbangan putusan MK yang kering. Maka, pihaknya akan melakukan eksaminasi putusan (pengujian ulang).
"Eksaminasi ini penting, untuk kemajuan sistem pemilu ke depan bukan diperuntukkan mempermasalahkan putusan MK," katanya.
Sampai berita ini diturunkan MK sudah membacakan 470 putusan dari 697 perkara yang diterima MK. Selain itu, 9 perkara yang baru dikabulkan MK. Ke-470 perkara yang telah diputus berasal dari 26 provinsi.