Jumat 27 Jun 2014 14:27 WIB

Hentikan Perilaku Buruk Murid

Asep Sapa’at
Foto: doc pribadi
Asep Sapa’at

REPUBLIKA.CO.ID, Asep Sapa’at, Pemerhati Karakter Guru di Character Building Indonesia

Di Amerika Serikat, banyak sekali murid drop out karena merasa terasingkan di kelas atau sekolah. Ada dua sebab mereka dikucilkan, karena dianggap bodoh atau nakal.

Naasnya, persepsi bodoh dan nakal lebih sering diciptakan dalam ruang imajinasi orangtua dan guru. Sangat mungkin hal itu pun dialami murid-murid kita, sehingga jika brutalitas, kemesuman, narkoba yang makin mengkhawatirkan saat ini menjadi manifestasi perasaan keterasingan itu.

Tanpa sadar, kita punya cara pandang sesat. Anak cerdas diberi perhatian penuh. Terkadang, kita berikan pujian berlebihan. Sebaliknya, anak yang punya masalah dalam hal belajar dan perilaku, malah lebih sering diabaikan. Sikap pengabaian ini bisa membuat masalah makin matang dan besar.

Kualitas murid ditentukan kompetensi dan karakter. Kompetensi ibarat rumput ilalang. Karakter ibarat padi. Menanam padi pasti tumbuh ilalang. Menanam ilalang mustahil tumbuh padi. Mendidik perilaku baik, masih juga terselip keburukan. Perilaku buruk itu akan berkembang sendiri, tak usah diajari. Yang jadi soal, apa yang harus dilakukan sekolah agar kompetensi murid berkembang baik dengan karakter sebagai fondasinya?

Anak-anak tak bisa kerjakan soal ujian dan punya prestasi hebat, sebagian besar orangtua dan guru stresnya bukan main. Citra diri mereka seolah terancam. Tapi mengapa mereka tak gundah jika anaknya tak disiplin dan suka terabas aturan? Mengapa mereka cuek saja anaknya buang sampah di sembarang tempat, bukankah ini tanda ketiadaan sikap tanggung jawab? Kompetensi kadung dianggap segalanya.

Simbol-simbol kejayaan dan kecerdasan begitu didewa-dewakan. Segala cara dihalalkan untuk raih kompetensi. Sebaliknya, karakter terlanjur disepelekan. Padahal kompetensi tanpa karakter, kerusakan hasilnya.

Jika mencontek, menghina teman, tak disiplin, baku hantam antar murid di kelas atau sekolah terkesan dibiarkan dan tak pernah tuntas diselesaikan, ada apa dengan sekolah? Memang betul sekolah bukan satu-satunya pihak paling bertanggung jawab. Namun, komitmen, konsistensi, dan kreativitas sekolah dalam merancang sistem pendidikan yang bisa mengatasi perilaku buruk murid, itulah karya sekolah yang sesungguhnya.   

Hasil riset Veenman (1984) menarik dicermati. Classroom discipline, motivating students, dealing with individual differences merupakan urutan frekuensi 3 masalah teratas yang kerap dihadapi guru di kelas, terutama guru baru (mengajar kurang dari 3 tahun). Maka pertanyaannya, apakah guru-guru sudah disiapkan jadi agen pendidik untuk bisa atasi masalah perilaku buruk murid di kelas? Potret suasana kelas yang super gaduh, tak disiplin, intoleran, mengizinkan tindak kekerasan sesama murid, tanda tak adanya keseriusan dalam memperbaiki perilaku murid. Apa resiko terbesar jika sekolah abaikan soal karakter murid?

Wendy M. Reinke, Ph. D. dalam kajiannya, The classroom check up: An Assessment/Intervention Tool for Improving Classroom Management menyatakan, "Classroom with poor behavior management produce negative student outcomes". Senada dengan hal itu, Aber et.al. (1998), Poduska et.al. (2001), dan Kellam, 1998) menyatakan pula, "Poor classroom management place student at risk of current and future behavior problems". Wajar jika guru Australia begitu khawatir ketika murid-muridnya tak bisa antri ketimbang nilai matematikanya jelek. Satu sikap tepat untuk mendidik karakter di lingkungan sekolah. Bagaimana dengan sikap guru-guru di Indonesia dalam menyikapi perilaku buruk murid di kelas?

Sikap buruk yang ditunjukkan murid di kelas adalah isyarat. Sayang tanda-tanda itu kerap diabaikan dan tak diselesaikan secara tuntas. Ada beragam kemungkinan sikap buruk murid tak tertangani, yaitu sekolah abaikan persoalan karakter murid, sekolah tak punya strategi menata karakter murid, guru tak dilatih untuk mengenali dan menyelesaikan masalah perilaku murid, (yang mengerikan) sekolah tak lebih berwibawa dari faktor-faktor eksternal (dampak negatif tayangan televisi, narkoba, senior) yang mempengaruhi terbentuknya sikap buruk para murid. Sekolah seolah jadi ladang tumbuh suburnya perilaku-perilaku menyimpang murid.

Tempo dulu, kita masih dididik sikap tanggung jawab lewat aktivitas piket kebersihan kelas. Jika ada teman sakit, kita kumpulkan sumbangan dan jenguk ke rumahnya. Berbaris dan periksa kuku sebelum masuk kelas. Barisan tertib dan rapih, dan murid mencium tangan guru sebelum masuk kelas. Jika hendak bertanya, acungkan tangan dulu, dan baru berbicara setelah diizinkan guru.

Masih adakah hal-hal baik dan sederhana seperti ini tampak di sekolah-sekolah kita hari ini? Andai hal-hal baik seperti ini masih konsisten dibudayakan di sekolah sejak dini, jelas sekolah punya kontribusi besar dalam mengantarkan murid-murid jadi anggota masyarakat yang baik. Bukan malah ‘memelihara’ perilaku buruk murid dan menyumbangkan orang-orang terpelajar tapi tak terdidik ke tengah-tengah masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement